Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Eks Direktur Kementan Diperiksa KPK soal Kasus Korupsi Karet Era SYL
Sidang Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tipikor pada Senin (8/7/2024). (IDN Times/Aryodamar)

Intinya sih...

  • KPK panggil dua saksi, termasuk mantan Direktur Perlindungan Perkebunan

  • KPK usut kasus korupsi pengadaan barang/jasa sarana pengolahan karet sejak Desember 2024

  • KPK geledah sejumlah lokasi dan menyita uang, dokumen, dan barang bukti elektronik

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Direktur PPHP Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi. Ia diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pengolahan karet di Kementerian Pertanian (Kementan) era Menteri Syahrul Yasin Limpo (SYL).

"Hari ini, KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barangJasa sarana fasilitasi pengolahan karet pada Kementerian Pertanian Tahun Anggaran 2021-2023," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Kamis (4/12/2025).

1. KPK panggil dua saksi

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Prasetyo ketika memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK. (IDN Times/Santi Dewi)

Selain itu, KPK juga memanggil mantan Direktur Perlindungan Perkebunan, Ardi Praptono. Ia juga akan diperiksa KPK sebagai saksi.

"Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih," ujarnya.

2. KPK usut kasus ini sejak Desember 2024

Gedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Sebagaimana diketahui, KPK mengusut dugaan korupsi pengadaan barang atau jasa sarana pengolahan karet tahun anggaran 2021-2023. Hal itu diungkapkan KPK sejak Desember 2024.

Ada delapan pihak yang sempat dicegah ke luar negeri. Namun, identitasnya tak diungkapkan ke publik.

3. KPK sempat geledah sejumlah lokasi

Gedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Sementara penyidikan berjalan, KPK menggeledah sejumlah lokasi. Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita uang, dokumen, dan barang bukti elektronik.

Kasus ini diduga merugikan negara Rp75 miliar. Namun, jumlahnya masih bisa berubah

Editorial Team