Suasana depan Gedung MK jelang aksi demo terkait RUU Pilkada pada Kamis (22/8/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)
Para Pemohon menjelaskan, sebagaimana pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 atas pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), MK mengatakan, setelah caleg terpilih maka calon terpilih akan menjadi wakil rakyat yang tidak bisa dengan semena-mena dilakukan penggantian baik oleh partai politik maupun dengan pengunduran diri atas kehendak calon terpilih sendiri. Penggantian yang dilakukan dengan ketidakjelasan alasan apalagi alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan mengkhianati suara rakyat yang telah diberikan saat pemungutan suara dalam pemilihan umum calon anggota legislatif.
Namun, para Pemohon mengatakan, penafsiran MK tersebut tidak dapat diimplementasikan ketika Pasal 7 huruf s UU Pilkada masih berlaku. Menurut para Pemohon, pasal a quo membuka peluang bahkan bagi anggota legislatif yang baru saja dilantik untuk mundur dan mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mengikuti pilkada yang sesungguhnya tidak selaras dengan semangat penghargaan terhadap mandat rakyat sebagaimana Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024.
“Akibat masih dinormakannya pasal a quo tanpa pembatasan dan pemaknaan yang konkret ternyata membuat salah tafsir,” kata Adam.
Menurut para Pemohon, seharusnya terdapat mekanisme pembatasan seperti seseorang menjabat sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD periode 2024-2029 tidak diperbolehkan mengikuti kontestasi pilkada masa jabatan 2024-2029. Sebab, pilkada tersebut memiliki periode jabatan yang sama dengan periode keanggotaan legislatif.
Para Pemohon menilai dengan tetap dinormakannya pasal a quo tanpa pembatasan yang jelas maka berpotensi mereduksi bahkan mendistorsi prinsip kedaulatan rakyat. Sebab, keanggotaan DPR, DPD, DPRD barangkali baru dijalankan dalam tempo yang singkat, sehingga belum dapat dikatakan menyampaikan mandat rakyat.
Para Pemohon juga mengatakan, tanpa adanya pembatasan yang jelas maka pasal a quo dapat dijadikan sarana bagi partai politik untuk mengangkangi Putusan MK 176/PUU-XXII/2024. Putusan MK tersebut mewajibkan partai politik untuk memiliki arah pengkaderan partai yang jelas, sehingga memiliki blueprint kader-kader yang akan diikutkan dalam kontestasi legislatif dan kader-kader yang akan diikutkan dalam kontestasi pilkada. Tanpa adanya pembatasan pasal a quo maka partai politik akan dapat mengakali kewajiban tersebut.
Pasal a quo justru membuat partai politik tetap dapat mencalonkan kader-kader yang awalnya ditugaskan dalam lembaga legislatif karena masih ada dasar hukum yang melegalisasi perbuatan tersebut. Karenanya, penting bagi MK untuk menutup celah yang ada agar prinsip demokrasi terwujud.