Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza mengatakan, secara komposisi memang fenomena 'Koalisi Gemuk' mirip dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Kala itu, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa kalah dengan duet Jokowi-Jusuf Kalla. Padahal, Prabowo-Hatta didukung banyak parpol, di antaranya, Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB. Sementara Jokowi-Jusuf Kalla hanya didukung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura.
"Fenomenanya saat ini kita dudukan pada posisi kalau komposisi partai memang bisa dianggap sama dengan 2014," ungkap Efriza kepada IDN Times, Rabu (16/8/2023).
Efriza mengatakan, anggapan Pilpres 2014 akan terulang pada 2024, di mana partai dengan koalisi besar belum tentu menang melawan koalisi kecil, merupakan bentuk kekecewaan belaka. PDIP jadi pihak yang beranggapan demikian.
Sebab, sebenarnya fenomena yang terjadi di 2014 tidak sama dengan 2024. Pada Pilpres 2014, dua paslon yang maju sama-sama tidak berasal dari petahana. PDIP sebagai parpol yang menang kala itu juga berposisi sebagai oposisi pemerintah.
Jelang Pilpres 2024, figur capres sebagai representasi pendukung pemerintah Jokowi justru lebih besar. Sementara representasi oposisinya kecil. Capres dari PDIP, Ganjar harus bersaing dengan Prabowo yang sama-sama menawarkan gagasan melanjutkan program Jokowi. Di sisi lain, kekuatan parpol yang mendukung Prabowo juga lebih besar.
"Karena kita harus melihat dulunya PDIP 2014 dan sekarang PDI di 2024 punya model yang berbeda. Di 2014, PDIP itu oposisi, waktu itu juga sama-sama kosong tidak ada yang megang petahana karena Prabowo melawan Jokowi," jelas Efriza.
Padahal seharusnya, kata Efriza, PDIP sebagai partai penguasa dan pemerintah bisa menggalang kekuatan parpol lebih besar. Sehingga peluang kemenangan di 2024 terbuka lebar.
"Di 2024 PDIP perjuangan ini adalah partainya pemerintah, penguasa politik. Sudah terlihat jelas ini berbeda dengan 2014, antara oposisi dengan partai pemerintah. Harus melihat bahwa PDIP ini semestinya karena dia partai pemerintah dia harusnya bisa merajut kembali dukungan dari partai-partai pemerintah, bukan malah ditinggal," ucap dia.
Di samping itu, jika melihat dua pasangan yang berada di barisan pendukung pemerintahan Jokowi, yakni Ganjar dan Prabowo, keduanya masih berebut loyalitas dari pemilih Jokowi.
Efriza lantas menyoroti, tren yang seharusnya jadi kekhawatiran PDIP. Partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu dengan koalisi yang kecil berpeluang ditinggal pemilih Jokowi pada 2014 dan 2019. Hal itu lantaran, publik mengasumsikan pengakuan pemerintah lebih menguat ke Prabowo.
"Ganjar hanya pakaian saja, kayaknya Hitam putih dipilihin Jokowi, kemudian pakai baju lagi gambarnya Jokowi. Kan Prabowo malah bisa menjelaskan banyak hal tentang kebijakannya Jokowi, seperti hilirisasi yang dia jelaskan. Ini artinya fenomena yang sama lagi, bahwa kubu pemerintah partainya pemerintah selalu ditinggal ketika dia sudah menjabat dua periode harusnya itu yang menjadi alarm bagi Ganjar dan PDIP," jelas dia.