Ilustrasi peretas (freepik.com)
Pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengatakan meski yang terkena serangan siber adalah PDNS 2, bukan berarti bisa dianggap enteng dampaknya. Sebab, publik dan instansi pemerintah yang mempercayakan server-nya pada cloud PDNS menjadi korban.
Sebagai contoh, antrean pengguna pesawat udara terlihat mengular hingga ke pintu keberangkatan pada pekan lalu saat hendak boarding.
"Itu harus disamakan. Tidak bisa dianggap PDN Sementara boleh kena retas, dan pengamanannya longgar. Pernyataan itu agak lucu," ujar Alfons ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Selasa, 26 Juni 2024.
Pernyataan tersebut menepis kalimat dari Menkominf Budi Arie Setiadi, bahwa yang terkena serangan siber dalam bentuk ransomware adalah PDNS2 di Surabaya.
Menurut Alfons, PDN sementara atau permanen akan tetap rentan terkena serangan siber, bila tak dijaga sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan SOP pengamanan.
"Artinya, admin disiplin dalam mengikuti business continuity dan business recovery. Dalam kasus ini, sudah jelas bahwa disaster recovery dan business continuity-nya (milik PDN) parah," katanya.
Diketahui, PDN sementara lantaran PDN permanen belum selesai dibangun. PDN permanen akan berlokasi di tiga tempat yaitu Cikarang, Batam dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Mengutip situs resmi Kemkominfo, PDN merupakan amanah dari Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Kemkominfo menargetkan PDN di Cikarang akan rampung dibangun pada Oktober 2024.
Salah satu layanan yang ada di PDNS yakni penyediaan layanan Government Cloud Computing. Ekosistemnya akan disediakan Kemkominfo. Berdasarkan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 itu pula instansi pemerintah meletakan datanya di PDN.
Berdasarkan data dari Kemkominfo per 2021, ada 56 kementerian atau lembaga yang meletakan datanya di PDNS 2. Termasuk di dalamnya Imigrasi (Kemenkum HAM) hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ibarat sebuah pusat perbelanjaan, maka kementerian atau lembaga yang menggunakan PDN adalah penyewa jasanya.
Maka, menurut Alfons bila PDN tidak bisa memberikan layanan maksimal, maka kementerian atau lembaga tersebut berhak memprotes.
"Seharusnya pihak imigrasi berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Kenapa? Kalau kita pakai cloud. Saya pakai AWS. Kalau down, maka harus diganti (nominal tertentu) sebagai bagian dari tanggung jawab," ujar Alfons.
Tetapi yang terjadi, lembaga atau kementerian yang terdampak dari serangan siber ke PDNS malah diminta maklum. "Bila sudah begini, kapan mau majunya PDN?" imbuhnya.
Menurut Alfons, bila cara mengelola PDN seperti itu, maka tidak akan berdampak positif bagi perkembangan teknologi informasi di Tanah Air.
Alfons juga sepakat agar pemerintah tak perlu membayarkan tuntutan pelaku yang melakukan ransomware ke PDNS. Sebab, negara terkesan menjadi tunduk terhadap pelaku tindak kejahatan.
"Selain itu, bila tuntutan tebusan senilai 8 juta dolar Amerika Serikat (Rp131 miliar) dibayarkan maka seolah membiarkan praktik ransomware terjadi. Hal itu menimbulkan persepsi terhadap pelaku lain untuk melakukan serangan siber karena pasti akan dibayar," ujar dia.
Alfons meyakini tiap instansi atau kementerian memiliki data di database masing-masing. Data yang ada di server PDN, diyakini merupakan data server baru.
"Itu kan sebenarnya proses data yang ada di kementerian atau instansi lama lalu diproses atau dikirim ke sana. Harusnya data itu ada di masing-masing kementerian atau instansi. Kedua, kalau masing-masing instansi menjalankan SOP, maka mereka sudah sepatutnya punya back up data," sambungnya.