Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani menjelaskan, suatu kota mendapatkan skor terendah bukan hanya disebabkan terjadinya peristiwa intoleran ataupun peristiwa yang destruktif terhadap toleransi. Tetapi juga disebabkan ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kotanya.
Ia mengatakan, IKT Setara Institute mendefinisikan kota toleran sebagai kota yang memiliki visi dan
rencana pembangunan inklusif, regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, kepemimpinan yang progresif bagi praktik dan promosi toleransi, tingkat intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah, dan upaya berkelanjutan dalam mengelola keberagaman dan inklusi sosial.
"Setara Institute dalam studi ini menurunkan konsep toleransi ke dalam beberapa variabel sistemik kota yang dapat memengaruhi perilaku sosial antar identitas dan entitas warga, yakni kebijakan-kebijakan pemerintah kota, tindakan-tindakan aparatur pemerintah kota, perilaku antar entitas di kota termasuk warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi sosial dalam heterogenitas demografis warga kota," bebernya.
Ada delapan indikator penelitian Indeks Kota Toleran yang terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); Kebijakan Pemerintah Kota; Peristiwa Intoleransi; Dinamika Masyarakat Sipil; Pernyataan Publik Pemerintah Kota; Tindakan Nyata Pemerintah Kota; Heterogenitas Agama; dan Inklusi Sosial Keagamaan.