(IDN Times/Kevin Handoko)
Usai memaparkan mengenai SDGs, Suharso mengajak audiens berdiskusi. Dia membuka pertanyaan tentang peraih penghargaan Nobel Ekonomi 2019, Abhijit Banerjee, dan istrinya, Esther Duflo yang sempat dipaparkan dalam pidatonya.
"Peningkatan penduduk adalah kualitas Indonesia yang relatif masih rendah. Ini kaitannya dengan Duflo tadi. Apa yang ditemukan Abhijit dan Duflo sehingga dia bisa mendapatkan hadiah nobel?" tanya Suharso.
Rupanya tak banyak anak muda yang tahu tentang hal itu. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Kepala Bappenas tersebut.
"Ada yang tahu gak? Kalau ada yang tahu saya kasih sepeda," tanya Suharso.
"Coba aja di Google, belum tentu dapet juga. Hai anak muda, apa?"
Tak lama kemudian, salah satu audiens mengacungkan jarinya.
"Apa yang dia temukan?" tanya Suharso.
"Karena mereka berhasil melahirkan pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan," jawab pemuda itu sambil membaca telepon genggamnya.
"Salah. Hampir sama," ucap Menteri Bappenas.
"Jadi kedua orang itu, terutama istrinya itu, melakukan penelitian di Indonesia terhadap SD inpres. SD inpres yang mengantarkan beliau menjadi pemenang nobel," jelas Suharso.
Selain memberikan pertanyaan kepada audiens, Suharso juga membuka kesempatan kepada audiens untuk bertanya. Pertanyaan tersebut datang dari seorang perempuan muda.
"Tadi dalam presentasi dijelaskan mengenai pernikahan dini. Apa kebijakan yang dilakukan Bappenas untuk isu tersebut?" tanya dia pada Suharso.
Suharso tampak antusias mendapat pertanyaan itu. Ia menjelaskan dengan detail. Pertama, usia dini itu ada hubungannya tidak langsung dengan stunting.
"Stunting itu apa sih? Ada yang mengatakan stunting itu kekerdilan. Atau jangan-jangan saya ini hasil stunting juga. Jadi ada mispersepsi dengan cara seperti itu. Tadi memang kata kuncinya adalah 1.000 hari pertama kelahiran."
Suharso pun menjelaskan pencegahan stunting. Menurut dia, 30 bulan sejak terjadi pembuahan sampai anak dilahirkan adalah masa paling penting, dan jika itu gagal, kemungkinan terjadi stunting. Akibat syaraf di otak terganggu, maka perkembangan anak pun terganggu pula.
"Tidak tertolong setelah usia itu," ujar dia.
Jadi usia muda, kata Suharso, atau pernikahan pada usia yang belum matang memang bisa mengakibatkan lahirnya bayi-bayi stunting. Di Indonesia kasus stunting mencapai 30 persen.
"Kita berharap bisa turun ke 23 persen, tapi Bapak Presiden ingin turun sampai 14 persen. Jadi cukup besar sekali sekitar 12 persenan harus diturunkan."
Di kota-kota besar juga, kata Suharso, terjadi kasus stunting seperti di Jakarta dan Bandung. "Surabaya gak ada stunting, jangan dikira di Bandung gak ada stunting. Rata-rata mereka punya stunting di atas 10 persen. Tapi ada juga daerah yang justru serba terbatasnya tapi mereka efisien, tingkat stuntingnya rendah."
Sebenarnya, menurut Suharso, Bappenas melakukan clearing house dari semua perencanaan pembangunan di semua sektor pembangunan di seluruh daerah, dengan melibatkan Kementerian Kesehatan dan kementerian lain. Bappenas membagi intervensi sedemikian rupa, ada intervensi yang bersifat spesifik, ada juga yang sensitif.
"Kalau spesifik itu langsung kepada persoalan. Misalnya, bagaimana mencegah usia remaja di bawah 17 tahun menikah. Contoh, ada undang-undang yang mengatakan di atas 18 tahun baru masuk posisi hukumnya atau setelah menikah. Kita sedang meminta usia nikah perempuan dinaikkan," kata dia.
Setelah berlangsung sekitar 45 menit, Suharso mengakhiri diskusinya tentang SDGs. Hadirin pun memberikan tepuk tangan meriah, sebagai apresiasi kepada Menteri Bappenas.