Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berada di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta pada Rabu (2/9/2020) (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono, menjelaskan awal mula kasus Pinangki muncul ke permukaan.
Pada November 2019, Pinangki bersama kuasa hukum Joko yakni Anita Kolopaking dan seorang pria bernama Andi Irfan Jaya, bertemu dengan Joko Soegiarto Tjandra di The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia.
"Saat itu, saudara Joko Soegiarto Tjandra setuju meminta terdakwa Pinangki Sirna Malasari dan saudari Anita Kolopaking untuk membantu pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung, melalui Kejaksaan Agung," kata Hari dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 17 September 2020.
Hari menjelaskan bahwa pengurusan fatwa MA dilakukan agar Joko Tjandra tidak dieksekusi atas kasusnya. Sehingga, Joko bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
"Atas permintaan tersebut, terdakwa Pinangki Sirna Malasari dan saudari Anita Kolopaking bersedia memberikan bantuan tersebut. Dan saudara Joko Soegiarto Tjandra, bersedia menyediakan imbalan berupa sejumlah uang sebesar US$1 juta, untuk terdakwa PSM (Pinangki)," ungkap Hari.
Jika diakumulasikan dengan kurs rupiah saat ini, uang tersebut setara Rp14.852.250.000 miliar. Untuk pengurusan fatwa MA, Pinangki menyerahkannya kepada pihak swasta, yakni mantan politikus Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'Action Plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," ucap Hari.