Jakarta, IDN Times - Anggota Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, Zainal Arifin Mochtar mengatakan belum ada satupun presiden di Indonesia yang mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, ia tak menampik rekomendasi semacam itu pernah ada. Sehingga, menurutnya, ini merupakan satu langkah maju dan upaya ke depan dalam memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
"Tapi, belum satupun presiden seingat saya, kalau ada tolong nanti disebut presiden siapa dan tanggal berapa, yang pernah menyatakan atau mengakui dan menyesalkan adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu," ungkap Zainal ketika berbicara di program Ngobrol Seru di YouTube IDN Times dan dikutip pada Sabtu, (14/1/2023).
Ia mengaku tidak tahu pasti alasan di balik Presiden Joko "Jokowi" Widodo memilih untuk menempuh langkah penyelesaian melalui langkah di luar proses hukum. Namun, ia tak menampik para terdakwa kasus pelanggaran HAM berat dari empat kasus berbeda justru divonis bebas oleh hakim di pengadilan.
Pria yang juga akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu turut menjelaskan mengapa tim tersebut hanya fokus di 12 peristiwa pelanggaran HAM berat saja. Sebab, banyak yang mengkritisi ada peristiwa lain yang seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah.
"Kenapa 12 perkara? Karena kan sebelumnya perkara ini sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Jadi, mandat yang diserahkan ke tim ini hanya 12 perkara itu," kata dia.
Oleh sebab itu, kata Zainal, sejumlah peristiwa seperti peristiwa KM 50 atau Kanjuruhan tidak masuk ke dalam fokus timses lantaran di dalam Keppres nomor 17 tahun 2022, dua perkara tersebut tidak menjadi mandat mereka. Kejadian di KM50 dan Kanjuruhan pun tidak diklasifikasikan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat.
Lalu, apa tanggapan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terhadap klaim timsus?