Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)
Sebagai informasi, Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memuat aturan yang memungkinkan seseorang dipidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta, jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden melalui media sosial.
Hal tersebut tertuang pada Bab II Pasal 219 terkait Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi Pasal 219 seperti dikutip dalam draf RKUHP, Sabtu (5/6/2021).
Bukan hanya di media sosial, melakukan serangan di muka umum atau di luar media sosial juga bisa diancam hukuman pidana. Namun, tindak pidananya tak selama di media sosial, yaitu 3,5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp200 juta yang tertuang pada Pasal 218 Ayat 1.
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi Pasal 218 Ayat 1.
Tetapi, pasal tersebut tidak berlaku jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 Ayat 2.
Ancaman penjara terhadap presiden atau wakil presiden baru akan berlaku jika ada aduan, dan aduan tersebut harus dilakukan presiden atau wakil presiden, sebagaimana tertuang dalam Pasal 220 Ayat 1 dan 2.
"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," demikian bunyi Pasal 220 Ayat 1.
"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden," demikian bunyi Pasal 220 Ayat 2.