Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberi arahan dalam Rakornas BMKG 2022. (dok. YouTube Info BMKG).

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo bakal mengumumkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum, Selasa (27/6/2023). Program itu dimulai secara serentak di 12 lokasi peristiwa yang dinyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.

Namun, acara dipusatkan di Rumah Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh. Rumah Geudong merupakan saksi bisu terjadinya penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Aceh ketika diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). 

Berdasarkan informasi, acara bakal dimulai pukul 10:00 WIB. Ini merupakan bagian dari implementasi rekomendasi yang dilakukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Ada 12 rekomendasi yang disampaikan tim yang dibentuk dengan dasar hukum Keputusan Presiden tersebut. Salah satunya pemerintah mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu dan tersebar di 12 lokasi. 

"Pemulihan hak para korban itu dimulai atau kick off oleh Presiden pada Selasa, 27 Juni 2023. Kegiatan akan dilangsungkan di Rumah Gedong Kabupaten Pidie Aceh. Di saat yang bersamaan, juga mulai dilakukan pemulihan HAM pada 11 wilayah lainnya yang direkomendasikan oleh Komnas HAM," kata Mahfud ketika memberikan keterangan pers pada 23 Juni 2023 lalu di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat. 

Mahfud sendiri telah berada di Aceh sejak Senin kemarin. Ia menyebut persiapan kick off program pemulihan hak bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu telah mencapai 98 persen. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyadari, program penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar jalur hukum tidak disetujui semua pihak. Namun, hal itu dinilai lebih baik dibandingkan melalui proses hukum atau yudisial yang kerap kalah.

Berdasarkan catatan yang dipegang Mahfud, sebanyak 35 tersangka di kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu malah divonis bebas hakim di pengadilan.

"Apapun pasti ada yang setuju dan tidak. Itu biasa saja, tidak ada masalah. Daripada kita diam saja. Nunggu (proses) pengadilan, kalah terus. Mau diajukan, gak ada buktinya terus kan? Lalu, mau (revisi) Undang-Undang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), nanti ada hambatan politis lagi," tutur dia. 

Alhasil, Mahfud selaku ketua pengarah Tim PPHAM memilih saat ini fokus lebih dulu kepada pemulihan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

1. Mahfud tegaskan proses penuntasan lewat jalur hukum pelanggaran HAM lain tetap dilakukan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD saat berada di Kabupaten Pidie, Aceh. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Lebih lanjut, Mahfud menegaskan meski pemerintah saat ini fokus kepada proses pemulihan hak korban yang dilakukan di luar jalur pengadilan, bukan berarti proses hukum untuk mencari tersangka kasus pelanggaran HAM berat terhenti. Proses hukum kepada pelaku, kata Mahfud, tetap berjalan. Meskipun pada kenyataannya di lapangan, proses hukum belum berhasil menyentuh kepada aktor intelektual dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut. 

"Tidak ada penghilangan aspek yudisial. Proses hukum kepada pelaku tetap berjalan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Baik UU HAM maupun undang-undang hukum acara dalam proses pembuktian," ujar Mahfud. 

Penyelesaian di luar jalur hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, katanya lagi, tidak meniadakan penyelesaian lewat jalur yudisial. "Semua pelanggaran HAM berat tetap bisa diproses lewat jalur hukum atau pengadilan HAM ad hoc," tutur dia. 

Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang pernah terjadi dan diakui oleh pemerintah:

  1. Peristiwa 1965-1966,
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003

2. Dua eksil yang jadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu ikut datang ke Aceh

Ilustrasi perjuangan hak asasi manusia (pexels.com/Lara Jameson)

Sementara, salah satu agenda Jokowi saat di Kabupaten Pidie yakni ia bakal berinteraksi dengan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Diperkirakan akan ada dua orang eksil yang datang dari luar Indonesia yang ikut hadir di Pidie, Aceh. 

Sekretaris Kemenko Polhukam, Letjen Teguh Pudjo Rumekso, mengatakan eksil merupakan warga Indonesia yang tidak bisa kembali ke Tanah Air ketika tengah menempuh pendidikan di sejumlah negara Eropa. 

Mereka merupakan eks Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas Indonesia) era Presiden Sukarno. Dulu mereka adalah mahasiswa yang dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan S1 di negara-negara seperti Uni Soviet, Ceko, dan negara-negara sosialis komunis lainnya di Eropa Timur. Namun, mereka dianggap ikut terlibat dalam peristiwa 1965 lantaran ikut program studi di era Sukarno. 

Letjen Teguh mengatakan eksil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat yang bakal mengikuti kick off pemulihan hak di Aceh secara virtual, terkonfirmasi 16 orang.

"Di Swedia ada 7 orang, lalu di Ceko 4 orang, Belanda 2 orang, Swedia, Prancis dan satu negara lainnya masing-masing 1 orang," kata Teguh ketika ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat. 

Ia menyebut akan ada dua orang yang ikut kick off secara langsung di Aceh. Satu eksil yang selama ini bermukim di Rusia dan satu lagi bermukim di Ceko. 

Sedangkan, jumlah korban pelanggaran HAM yang diketahui bermukim di Aceh diperkirakan sekitar 99 orang. "Dari 99 orang itu, 62 masih dalam keadaan hidup, 31 meninggal dan 6 hilang. Lalu, yang mendapat manfaat dari 99 korban ada 248 orang," tutur Teguh. 

3. Pemerintah tak akan meminta maaf terhadap pelanggaran HAM berat pada masa lalu

Menkopolhukam Mahfud MD di Halal Bi Halal MUI pada Kamis (17/5/2023) (IDN Times/Aryodamar)

Meski pemerintah di bawah Jokowi mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, namun mereka tidak akan meminta maaf kepada para korban. Alasannya, permintaan maaf tidak termasuk dalam rekomendasi oleh Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran (TPP) HAM berat di masa lalu. Pemerintah lebih memilih opsi mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat itu pernah terjadi. 

"Jadi, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, itu tetap berlaku," ungkap Mahfud di Istana Kepresidenan, pada Mei 2023.

Ia menggarisbawahi, pemerintah saat ini fokus terhadap pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Total ada 12 peristiwa yang resmi diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat. 

"Jumlah peristiwanya tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan, itu Komnas HAM. Mereka merekomendasikan 12 peristiwa sejak puluhan tahun lalu," kata dia.

Editorial Team