Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)

Intinya sih...

  • Pemerintah dan DPR didesak merevisi UU pemilu.

  • Judicial orders dari MK menumpuk, menekan DPR untuk refleksi diri.

  • MK berlaga seperti positive legislature setelah putusan 135/2024.

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera merevisi undang-undang pemilu. Hal ini menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135 tahun 2024. Adapun dalam amar putusan tersebut, MK memerintahkan agar pelaksanaan pemilu antara rezim nasional dan lokal dipisah.

"Semakin lama direvisi maka semakin banyak diyakini uji materi ke MK. Karena kenapa karena masyarakat tidak punya saluran untuk ikut berpartisipasi dalam reformasi hukum pemilu," kata Titi Anggraini dalam diskusi virtual yang digelar Perludem, Jumat (18/7/2025).

Titi mengatakan, saat ini terjadi sejumlah tantangan yang muncul paska keluarnya putusan MK 135/2024. Pertama, telah terjadi kekosongan hukum karena putusan MK 135/2024 belum ditiindak lanjut serius oleh pembentuk UU. Kedua, kalau pembahasan perubahan UU pemilu di parlemen molor dan dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan tidak partisipatif, maka berpotensi terhadap kurangnya legitimasi. Ketiga, tuntutan bersaing karena ada kepentingan dari para pihak yang mau menjadi penjabat.

"Di Indonesia ini pasca putusan 135 yang kita hadapi setidaknya adalah kekosongan hukum. Dan ketidakpastian hukum karena belum ada tindak lanjut dari putusan MK," kata dia.

1. Perintah MK ke DPR sudah menumpuk

Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)

Di sisi lain, Titi juga menegaskan, judicial orders atau perintah MK ke pembentuk undang-undang yang telah diberikan kewenangan melakukan rekayasa konstitusi sudah terlalu menumpuk. MK telah memberikan judicial orders pada sengketa hasil pilpres tidak dilakukan untuk pengaturan Pilkada 2024. Konsekuensinya, MK lebih tegas di dalam menindak soal pelanggaran pembagian bansos atau netralitas penyelenggara pemilu.

Selain itu, pengaturan keserentakan akhir masa jabatan seleksi penyelenggara pemilu juga sudah menjadi judicial orders MK dalam putusan 120/2022.

"Kata MK seleksi penyelenggara pemilu tidak boleh dilakukan dalam tahapan pemilu harus dilakukan di luar tahapan pemilu. Maka harus diatur dalam UU," kata dia.

Judicial orders lainnya adalah rekonstruksi ambang batas parlemen sebagai tindaklanjut putusan MK 116/2023, yang hingga sekarang juga belum ada tindak lanjut secara serius di parlemen. "Jadi yang dibutuhkan adalah sebenarnya kepatuhan kita semua, konsistensi kita semua di dalam berkonstitusi dan membiasakan budaya konstitusi," kata dia.

"Kalau publik diminta patuh pada tadi, putusan 55/2020, putusan nomor 90/2023, soal syarat usia, maka hal yang sama juga dibutuhkan dari institusi dan kelembagaan penyelenggaraan negara kita, termasuk para politisi kita," imbuh dia lagi.

2. DPR diminta melakukan refleksi

Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 (IDN Times/Amir Faisal)

Titi lantas memperingatkan DPR untuk melakukan refleksi diri bila selama ini merasa bahwa mereka kerap kali dilangkahi MK. Banyaknya judicial orders dari MK ke DPR ini membuat Titi mendesak agara RUU Pemilu segera dibahas di parlemen. Terakhir, dalam Rapat Paripurna DPR RI telah disepakati adanya kodifikasi dalam paket Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik menjadi bagian dari Peraturan DPR RI tentang Rencana Strategis (Renstra) DPR RI 2025-2029.

"Jadi kalau pembentuk UU mengeluh misalnya suka dilangkahi oleh MK justru jangan jangan pembentuk UU yang harus mengevaluasi dan merefleksikan diri karena mereka tidak juga memberi ruang itu kepada publik untuk turut serta," kata dia.

3. MK berlaga seperti positive legislature

Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda bicara putusan MK terkait pemisahan pemilu (IDN Times/Amir Faisol)

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, MK seperti memposisikan diri sebagai positive legislature setelah mengeluarkan putusan 135/2024. MK tidak menyatakan bahwa UU Pemilu yang berlaku saat ini inkonstitusional, tapi justru membuat norma sendiri atas UU pemilu. 

Ia pun tidak mau bila nantinya DPR melakukan perubahan atas UU pemilu, tapi ujungnya kembali digugat lagi ke MK. Menurut dia, bila peristiwa semacam ini terus berulang, pembentuk UU tidak akan menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik.

Oleh sebab itu, ia meminta semua pihak bersabar karena DPR masih mencermati putusan MK terkait pemisahan pemilu ini dengan sangat hati-hati. Barangkali kata dia, putusan ini menghasilkan celah bagi DPR unfuk membentuk hukum nasional ke depan yang lebih baik baik lagi.

"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Karena bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi kita semua untuk kemudian melihat lebih jauh bagaimana proses pembentukan hukum nasional kita ke depan," kata dia.

Editorial Team