Andrie Yunus, Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS (YouTube/MK)
Sementara dalam persidangan, Andrie menyerahkan rekaman video ke MK yang berisi rekaman saat menggelar aksi interupsi tolak RUU TNI di Hotel Fairmont tersebut. Ia berharap, video tersebut bisa jadi pertimbangan MK dalam memutuskan perkara.
"Aksi interupsi ini tak berlangsung lama hanya kira-kira selama 10 menit. Kami juga akan melampirkan video interupsi ini ke mahkamah, guna dijadikan dasar pertimbangan kelak," kata dia.
Andrie juga memaparkan, koalisi masyarakat sipil sempat melakukan pembahasan internal yang pada akhirnya menyepakati menggelar aksi untuk menginterupsi pembahasan RUU TNI, yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah secara tertutup di Hotel Fairmont.
"Rapat yang saat itu sedang berlangsung, di mana terlihat Ketua Komisi I DPR RI sedang berbicara menggunakan mikrofon, sambil memegang poster dan surat terbuka, kami masuk ke dalam tempat rapat dan langsung menyampaikan pesan, 'selamat sore bapak ibu kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pemerhati di bidang pertahanan kami menuntut agar proses pembahasan revisi UU TNI dihentikan karena tidak sesuai proses legislasi karena diadakan tertutup'," kata dia.
"Tak lama koalisi langsung diusir paksa, saya ditarik dan didorong oleh pihak yang mengamankan kegiatan tersebut, sehingga menyebabkan saya dan seorang jurnalis terhempas jatuh ke lantai. Koalisi pun tetap memberikan peringatan terhadap seluruh peserta rapat dari balik pintu ruangan sambil meneriakkan tolak RUU TNI, tolak Dwi Fungsi ABRI, hentikan pembahasan RUU TNI," sambung Andrie.
Adapun, Pemohon dalam perkara ini diajukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para Pemohon perkara ini ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty. Menurut para Pemohon, UU TNI tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur UUD NRI Tahun 1945.
Para Pemohon mengatakan, revisi UU TNI tidak terdaftar dalam prolegnas prioritas DPR RI Tahun 2025 serta tidak menjadi RUU prioritas pemerintah bahkan hingga 2029. Revisi UU TNI pun bukan carry over, karena syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu RUU carry over adalah adanya kesepakatan antara DPR, presiden, dan/atau DPD untuk memasukkan kembali RUU ke dalam daftar prolegnas jangka menengah dan/atau prioritas tahunan. Sedangkan, tidak ada revisi UU TNI dalam Keputusan DPR yang berisikan 12 RUU carry over dalam prolegnas tahunan 2025 dan prolegnas 2025-2029.
Para Pemohon menuturkan, proses pembahasan revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan, dan tidak akuntabel sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum. Segala dokumen pembentukan revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar MK menyatakan pembentukan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU TNI berlaku kembali. Sementara dalam provisinya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan UU TNI ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir MK. Selain itu juga, memerintahkan presiden/DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru maupun tidak mengeluarkan kebijakan dan/atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TNI baru ini.