Paduan Suara Gitaku tampil menyuarakan soal bencana Sumatra di Sarinah, Jakarta Pusat, Sabtu (6/12/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, Gitaku menyebut, November sebagai bulan dua bencana. Bencana pertama merusak sejarah dan memori kolektif bangsa saat Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Kedua, bencana menghantam ruang hidup rakyat Sumatra.
Mereka menolak narasi yang menyebut bencana sebagai ujian Tuhan atau akibat cuaca ekstrem semata. Bagi Gitaku, keputusan politik—izin tambang, pembalakan, dan perkebunan—juga berperan dalam kerusakan ekologi. “Yang terjadi adalah pembunuhan ekologis,” tegas mereka, seraya menyerukan penghentian impunitas, penetapan status bencana nasional, dan investigasi independen.
Di Sarinah, lagu-lagu itu akhirnya usai. Namun gema pesannya tertinggal. Di antara hiruk-pikuk kota, nyanyian Gitaku menjadi doa bersama—doa bagi Sumatra yang terluka, dan pengingat bahwa suara rakyat, betapapun lirihnya, tak bisa ditenggelamkan.
"Pertama, hentikan impunitas terhadap korporasi, pejabat serta bekas penjabat yang berkongsi merusak lingkungan. Kedua, status bencana nasional bagi tragedi pembunuhan ekologis di Sumatra," kata seorang perempuan membacakan tuntutan dengan pengeras suara.
"Ketiga, investigasi independen, betul-betul independen—yang artinya terbuka untuk melibatkan ahli-ahli lintas negara, atas penghancuran kehidupan yang disengaja ini," sambungnya.