Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Jokowi melantik Hadi Tjahjanto sebagai Menko Polhukam (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Jokowi dianggap PDIP membangkang pada Pilpres 2024 dengan mendukung pasangan Prabowo-Gibran, bukan Ganjar-Mahfud.
  • Direktur PolMark Research Centre menilai Jokowi ingin memenangkan anaknya dengan cara tak demokratis.

Jakarta, IDN Times - Perang dingin Presiden ke-7 RI Joko “Jokowi” Widodo dan PDI Perjuangan (PDIP) mulai mencuat di publik sejak Pilpres 2024. Hal itu ditengarai karena perbedaan politik yang ditempuh oleh Jokowi dan PDIP.

Pada Pilpres 2024, Jokowi mengambil sikap politik yang berbeda dengan partainya sendiri. Jokowi dianggap membangkang dari keputusan PDIP untuk mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD pada Pilpres 2024.

Sebaliknya, Jokowi malah mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Perang dingin antara Jokowi dan PDIP ini mencerminkan konflik kepentingan dan strategi politik menjelang akhir masa jabatan Jokowi.

1. Jokowi ikut cawe-cawe di Pilpres 2024

Presiden Jokowi kunjungi Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (19/9/2023) (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Direktur PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah, menilai, Jokowi ingin memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dengan menggunakan cara-cara yang tak demokratis. Hal itu Eep simpulkan berdasarkan sejumlah aksi cawe-cawe yang dilakukan Jokowi.

“Beberapa hal umum yang pertama, saya menyaksikan Pak Jokowi ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi. Ini kesimpulan yang pertama,” kata Eep dalam diskusi politik di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).

“Saya bisa salah, tetapi sejauh ini itulah kesimpulan yang tepat yang bisa saya rumuskan," kata dia.

Eep mengatakan, sejak Indonesia menggelar pemilihan secara langsung, Jokowi menjadi satu-satunya presiden yang melakukan cawe-cawe secara terang-terangan. Menurut dia, cawe-cawe Jokowi pada Pilpres 2024 sudah sangat melampaui batas.

“Sepanjang sejarah reformasi terutama sejak pilpres langsung 2004, pada 2024 pertama kali kita menyaksikan presiden cawe-cawe dengan amat sangat jauh,” kata dia.

“Saya tidak perlu berdebat tentang ini karena Pak Jokowi sudah mengakui. Kesimpulan kedua, ada keterlibatan presiden yang sangat jauh," sambungnya.

Eep menegaskan, Jokowi dan jabatannya sebagai presiden tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, seharusnya Jokowi bisa membatasi diri pada masa kampanye Pilpres 2024.

"Pilpres ini adalah pilpres yang paling brutal sepanjang sejarah reformasi," kata dia.

2. Anggota Komite HAM PBB singgung cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024

Presiden Joko Widodo (dok. Sekretariat Presiden)

Cawe-cawe Jokowi ini tidak hanya menjadi perhatian nasional, tetapi juga internasional. Anggota Komite HAM PBB, Bacre Waly Ndiaye asal Senegal turut menyinggung aksi cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024.

Ia menyinggung hal itu dalam pertemuan ke-140 Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pada Maret 2024. Ia menanyakan isu HAM terkait dinamika Pemilu 2024 di Indonesia. 

"Pada Februari 2024, Indonesia menggelar Pemilu Presiden. Kampanye digelar setelah putusan di menit akhir yang mengubah syarat pencalonan. Memperbolehkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan,” kata dia dalam forum tersebut.

“Apa langkah-langkah yang diterapkan untuk memastikan pejabat-pejabat negara termasuk presiden, dicegah agar tidak mempengaruhi hasil pemilu? Apakah pemerintah sudah menyelidiki dugaan-dugaan intervensi pemilu tersebut?" sambung dia.

Pertanyaan soal hak dan partisipasi publik di dalam pemilu dijawab oleh Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional di Sekretariat Kabinet, Johar Arifin. Namun, Johar enggan menanggapi pertanyaan Ndiaye soal cawe-cawe Jokowi di Pemilu 2024.

Begitu juga diplomat lainnya dari Kementerian Luar Negeri yang dipimpin Dirjen Multilateral, Tri Tharyat. Johar hanya mengatakan, Indonesia berhasil mengadakan pemilu langsung terbesar di dunia dalam waktu satu hari. 

“Indonesia menggelar pemilu yang adil dan jujur serta menghormati hak pemilih. Kami berhasil melakukan pemilu langsung yang terbesar dengan jumlah pemilih mencapai 204 juta. Ini termasuk pilpres dan pemilu 575 anggota DPR, DPRD dan DPD," ujar Johar. 

3. Jokowi blak-blakan presiden boleh berkampanye

Presiden Joko Widodo (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Jokowi yang kala itu masih menjabat sebagai presiden juga terang-terangan menyatakan bahwa seorang presiden boleh berkampanye pada tahun politik. Menurut dia, hal itu menjadi pilihan individu seorang presiden.

“Semua itu pegangannya aturan, kalau aturan boleh silakan. Kalau aturan tidak boleh, sudah jelas itu, jangan presiden tidak boleh (berkampanye), boleh berkampanye, boleh! Tapi kan dilakukan atau tidak dilakukan terserah individu masing-masing," ujar Jokowi di Pangkalan Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).

Jokowi mengatakan, presiden, menteri atau pejabat publik lainnya bisa berkampanye asalkan jangan menggunakan fasilitas negara.

“Ya boleh saja saya kampenye, tapi yang penting tidak gunakan fasilitas negara," kata dia.

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menegaskan, pernyataan Jokowi tentang seorang presiden boleh berkampanye bisa merusak etika. Feri menilai, tak ada etika dan moral yang bisa dipegang oleh Jokowi meski presiden merupakan jabatan politik.

Menurut dia, seorang presiden seharusnya memberikan etika poltik dan memberikan contoh kepada ASN, TNI, Polri untuk bersikap netral dalam pemilu.

“Semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," kata dia.

4. PDIP resmi pecat Jokowi sebagai kader partai

Presiden Jokowi hadir dalam Festival Lingkungan, Energi, Kehutanan, Energi Baru Terbarukan (LIKE) di Indonesia Arena GBK, Jakarta (dok. Sekretariat Presiden)

Dewan Pimpinan Pusat PDIP pun resmi memecat Jokowi sebagai kader. Pemecatan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 itu ditandatangani oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, tertanggal 4 Desember 2024.

"Memberikan sanksi organisasi berupa pemecatan kepada Joko Widodo dari keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan," tulis poin pertama putusan dalam surat tersebut.

Jokowi dianggap membangkang dari keputusan PDIP untuk mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD pada Pilpres 2024. Sebaliknya, Jokowi malah mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Pertimbangan lainnya, PDIP menganggap Jokowi sebagai kepala negara telah menyalahgunakan kekuasaan dengan mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK). Cawe-cawe itu dilakukan untuk memberikan karpet merah bagi putra sulungnya, Gibran, maju di pilpres dengan mengubah syarat minimal usia capres-cawapres.

“Bahwa sesungguhnya sikap, tindakan dan perbuatan Sdr. Joko Widodo, selaku Kader PDI Perjuangan yang ditugaskan oleh Partai sebagai Presiden Republik Indonesia Masa Bakti 2014-2019 dan 2019-2024, telah melanggar AD/ART Partai Tahun 2019 serta Kode Etik dan Disiplin Partai dengan melawan terang-terangan terhadap keputusan DPP Partai terkait dukungan Calon Presiden dan Wakil Presiden pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung oleh PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 dan mendukung calon presiden dan wakil presiden dari partai politik lain (Koalisi Indonesia Maju)," bunyi pertimbangan dalam surat pemecatan Jokowi.

Editorial Team