Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi hasil USG (Pexels/Pavel Danilyuk)
Ilustrasi hasil USG (Pexels/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Kasus pelecehan seksual dokter kandungan MSF di Garut memunculkan pertanyaan tentang hak persetujuan pasien saat diperiksa.
  • Hubungan dokter-pasien harus dibangun atas dasar kepercayaan yang kuat, termasuk izin verbal atau tertulis dalam proses pemeriksaan medis.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kasus pelecehan seksual oleh dokter spesialis kandungan di Garut berinisial MSF memantik pertanyaan soal bagaimana pasien sebenarnya punya hak persetujuan saat akan diperiksa.

Dalam praktik kedokteran, hubungan antara dokter dan pasien harus dibangun atas dasar kepercayaan yang kuat, terutama dalam tindakan medis yang bersifat fisik dan invasif. Kepercayaan sangat diperlukan agar dokter bisa mengolah data medis.

Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ivan R. Sini. Menurut dia, izin dari pasien, baik secara verbal maupun tertulis adalah bagian penting dari setiap proses pemeriksaan.

"Pada saat kita melakukan pemeriksaan, nah ini apalagi saat kita bicara tentang pemeriksaan yang sifatnya fisik, seperti yang saya sampaikan tadi, izin yang tadi baik secara verbal maupun secara concern diperlukan dalam beberapa indikasi medis," kata Ivan dalam konferensi pers bertajuk 'Penindakan dan Pendisiplinan Tenaga Medis dan Kesehatan' yang diadakan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Kamis (17/4/2025).

1. Pada tindakan invasif seperti prosedur medis tertentu butuh informed consent

konferensi pers Penindakan dan Pendisiplinan Tenaga Medis dan Kesehatan yang diadakan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), di Jakarta, Kamis (17/4/2025). (IDNTimes/Lia Hutasoit)

Ivan menjelaskan, minimal dokter harus menyampaikan izin saat harus melakukan  pemeriksaan. Dia menegaskan, kepercayaan bukan hanya soal relasi personal, tapi juga mekanisme medis yang menghormati hak pasien atas tubuhnya sendiri.

Pada tindakan yang lebih invasif, seperti prosedur medis tertentu, dibutuhkan informed consent tertulis yang dijelaskan secara detail kepada pasien dan ditandatangani sebagai bukti persetujuan.

"Apalagi kalau kita sifatnya invasif itu sudah pasti kita harus mempunyai form tertulis dalam," kata dia.

2. Pentingnya komunikasi tenaga medis dan pasien

konferensi pers Penindakan dan Pendisiplinan Tenaga Medis dan Kesehatan yang diadakan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Kamis (17/4/2025) (IDNTimes/Lia Hutasoit)

Senada dengan itu, dokter Mohammad Syahril, anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang juga mantan Juru Bicara Kemenkes, menekankan pentingnya komunikasi antara tenaga medis dan pasien.

"Kalau berkaitan dengan tindakan, ya, yang lebih khusus seperti dokter Ivan katakan, maka ada yang disebut dengan informed consent, dijelaskan betul dan pasien atau keluarga harus tanda tangan," kata dia.

3. Pemeriksaan oleh dokter kandungan harus didampingi tenaga medis

ilustrasi USG (pexels.com/MART PRODUCTION)

Kasus pelecehan seksual oleh dokter kandungan MSF saat pemeriksaan ultrasonografi (USG) pun memicu masyarakat untuk memahami SOP pemeriksaan yang benar. Apalagi, ketika berkunjung ke dokter kandungan dilakukan pemeriksaan di bagian tubuh ibu hamil.

Pemeriksaan oleh dokter kandungan, kata Ivan, harus didampingi tenaga medis pendamping atau chaperone. Hal ini bukanlah opsi, melainkan suatu keharusan atau mandatory.

"Pemeriksaan di bidang obstetri dan ginekologi akan selalu bersentuhan dengan area sensitif sehingga sangat penting memastikan adanya pendampingan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya," kata dia.

Editorial Team