Ilustrasi suap (IDN Times/Cije Khalifatullah)
Dilansir dari Antara, pada awal tahun 2008, tersangka Budi dan tersangka Irzal bersama para pihak lainnya melakukan pemasaran dan penjualan di bidang bisnis di PT DI.
Dalam setiap kegiatan, tersangka Budi sebagai direktur utama bekerja sama dengan mitra atau agen, untuk memenuhi beberapa kebutuhan terkait operasional PT DI.
Proses mendapatkan dana untuk kebutuhan tersebut diduga melalui penjualan dan pemasaran secara fiktif. Pada tahun 2008 dibuat kontrak kemitraan atau agen antara PT DI yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration, Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Atas kontrak kerja sama mitra tersebut, seluruh mitra tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama. Alhasil, KPK menyimpulkan telah terjadi pekerjaan fiktif.
Selanjutnya, pada tahun 2011, PT DI baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra, usai menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama 2011 sampai 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT DI kepada enam perusahaan mitra tersebut sekitar Rp330 miliar. Rincian pembayarannya Rp205,3 miliar dan US$8,65 juta atau sekitar Rp125 miliar.
Setelah enam perusahaan mitra tersebut menerima pembayaran dari PT DI, ada permintaan uang baik melalui transfer maupun tunai sekitar Rp96 miliar. Uang itu diduga diterima oleh pejabat di PT DI yakni, tersangka Budi, tersangka Irzal, Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan, dan Budiman Saleh.