Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Seorang jurnalis magang menjadi korban pelecehan di Kereta Komuter Jakarta-Bogor oleh pria berusia 52 tahun pada Selasa, 16 Juli 2024.
  • Keluarga HS mengalami penolakan saat melaporkan kasus ini ke polisi, membuat kesulitan dalam mendapatkan keadilan.
  • Panduan daring dari SAFEnet menjelaskan dampak psikologis, ekonomi, dan sosial dari kekerasan berbasis gender online (KBGO) bagi korban atau penyintas.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Seorang jurnalis magang berinisial HS menjadi korban pelecehan di Kereta Komuter Jakarta-Bogor oleh pria berusia 52 tahun pada Selasa, 16 Juli 2024. HS direkam diam-diam oleh pria itu. Dari ponsel pria itu juga ditemukan ratusan video porno.

Saat dikonfrontasi, ditemukan tujuh video HS yang direkam saat dia duduk di kursi KRL tanpa sepengetahuannya. Insiden ini terjadi sekitar pukul 20.15 WIB, saat dia sedang dalam perjalanan pulang dari Stasiun Duren Kalibata menuju Jakarta Kota. Seorang petugas KAI memberi tahu korban bahwa seorang pria tengah merekamnya dengan ponsel.

Dengan bantuan petugas KAI, keluarga HS bolak-balik ke kantor polisi untuk menangani kasus ini. Malangnya, dia mendapat berbagai penolakan. Pelaku diamankan di Stasiun Jakarta Kota dan dibawa ke Polsek Taman Sari. Namun, kasus dirujuk ke Polsek Menteng dan kemudian ke Polsek Tebet dan menyarankan kasus dibawa ke Polres Jakarta Selatan. Di sana, polwan menyatakan kasus tidak bisa ditindak pidana karena tidak ada bukti pelecehan fisik, tidak ada alat vital yang terlihat. 

Kemajuan teknologi membuat masyarakat kini dengan mudah bisa mengakses smartphone dan bisa menggunakannya kapan saja serta di mana saja, Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 mengungkapkan 67,88 persen penduduk Indonesia yang berusia lima tahun ke atas telah memiliki ponsel atau handphone.

Namun kasus yang menimpa HS adalah salah satu efek yang timbul dari penggunaan handphone, yang mana perempuan mengalami berbagai kerentanan di balik lensa telepon genggam.

1. KBGO sebagai kekerasan berbasis gender

Seorang perempuan muda berjalan kaki melewati selasar peron salah satu stasiun wilayah Daop 4 Semarang. (IDN Times/Dok Humas KAI Daop 4 Semarang)

Riset SAFEnet dengan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tentang KBGO: Jauh Panggang dari Api menjelaskan perspektif bagaimana KGBO dikatakan sebagai kekerasan berbasis gender. Resolusi Dewan HAM PBB No. 32/13 tahun 2016 menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia di dunia maya. Hak-hak yang dijaga dalam kehidupan nyata juga harus dijaga di ranah online. Dengan demikian, kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi baik di kehidupan nyata maupun di dunia siber, termasuk yang difasilitasi oleh teknologi, dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO) tidak bisa dipisahkan dari konsep kekerasan terhadap perempuan (KtP). Menurut Rekomendasi Umum CEDAW No. 19, kekerasan pada perempuan adalah segala bentuk tindakan yang merusak atau menghilangkan hak asasi dan kebebasan fundamental perempuan. Hak-hak fundamental ini termasuk hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas kesetaraan perlindungan hukum, serta hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil.

KtP adalah bentuk KBG karena kekerasan ini ditujukan kepada perempuan akibat jenis kelaminnya dan sering kali membawa dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan. 

2. Kasus ini tunjukkan kompleksitas isu kekerasan seksual non-fisik

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam agenda ALL ABOUT RESPECT diselenggarakan di IDN Media HQ, Jakarta, Senin (4/12/2023) (IDN Times/Fauzan)

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menjelaskan kasus ini menunjukkan kompleksitas isu kekerasan seksual, terutama yang non-fisik. Dalam kasus ini, korban direkam tanpa sepengetahuannya, tetapi rekaman tersebut belum disebarkan, sehingga penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak memadai. Yentriyani menekankan bahwa dalam undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), ada pasal yang mengatur pelecehan seksual non-fisik, namun harus memiliki muatan seksual eksplisit. 

“Nah, sebetulnya di saat yang bersamaan, dia (kasus ini) itu bisa dicobakan dengan pasal soal pelecehan seksual non-fisik. Kenapa? Karena semua atau sejumlah pihak yang menyikapi kasus itu, itu pun langsung mengasosiasikan apa yang dilakukan pelaku punya konotasi ataupun punya muatan seksual. Jadi bukan tangkapannya yang bermuatan seksual, tapi bagaimana si pelaku ini memiliki kehendak seksual itu sendiri. Dorongan seksual dan lain-lain itu seperti di pasal pelecehan seksual,” kata dia kepada IDN Times, Senin (22/7/2024).

3. Belajar dari kasus ini, aparat penegak hukum perlu pahami lebih dalam soal UU TPKS

Para buruh perempuan di demo May Day 2024 pada Rabu (1/5/2024). (IDN Times/Sandy Firdaus)

Namun, menurut Andy, pendekatan hukum yang ada seringkali bersifat tekstual, sehingga sulit untuk mengenakan pasal yang sesuai dalam kasus-kasus seperti ini. Andy menekankan pentingnya pemahaman mendalam oleh aparat penegak hukum mengenai undang-undang TPKS, agar laporan-laporan seperti ini dapat ditangani dengan serius dan tanpa menyalahkan korban.

Dia menyayangkan sikap polisi yang tidak langsung menangani kasus ini setelah ada laporan masuk. Salah satu alasan kasus tidak bisa ditangani adalah karena tidak ada alat vital yang terlihat. Andy mengatakan, kondisi penentuan hukum seharusnya dilakukan setelah penerimaan keterangan dan penanganan korban.

“Jadi, pada titik ini kan jadi netizennya sebenarnya geramnya, jadi kita semua belum tentu juga pasalnya sendiri bisa diterapkan, tapi mungkin yang membuat paling kesel adalah penyikapan bahwa pelaporan itu tidak diterima dengan semestinya gitu kan ya, dan justru korban merasa kok aku jadi refektimisasi gitu,” kata dia.

4. Pelanggaran hak privasi karena tak menghargai consent

Seorang jurnalis magang berinisiaL HS menjadi korban pelecehan saat naik Kereta Komuter Jakarta-Bogor (dok. IDN Times/Istimewa)

Sementara, Wida Arioka, Koordinator Awas KBGO SAFEnet, menegaskan kasus ini termasuk kekerasan seksual berbasis gender online (KGBO) karena pelaku menggunakan handphone untuk merekam korban tanpa persetujuan. Menurutnya, tindakan pelaku sudah melanggar hak privasi korban dan tidak menghargai consent atau persetujuan.

“Karena si pelaku sudah melakukan pelanggaran terhadap privasi dari korban serta juga tidak menghargai consent, persetujuan dari korban karena dia merekam tanpa persetujuan korban. Kemudian itu juga difasilitasi oleh teknologi jadi sekalipun itu tidak di internet. Apa yang dilakukan sudah menggunakan teknologi menggunakan handphonenya berarti itu sudah termasuk kekerasan berbasis gender online,” kata dia kepada IDN Times.

Korban menghadapi kesulitan mengakses keadilan karena polisi diduga menolak menangani kasus ini, dengan alasan kurangnya bukti pelecehan fisik dan perekaman tidak menunjukkan alat vital. Pelaku hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf, meskipun dampak psikologis pada korban bisa signifikan.

5. Rujukan hukum yang atur perekaman bermuatan seksual tanpa persetujuan

Seorang jurnalis magang berinisiaL HS menjadi korban pelecehan saat naik Kereta Komuter Jakarta-Bogor (dok. IDN Times/Istimewa)

Dia merujuk pada pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) nomor 12 tahun 2023, yang mengatur perekaman bermuatan seksual tanpa persetujuan. 

“Sekalipun kemudian harus dicek lagi nih tentang perekaman yang berbau seksual, gitu,” katanya.

Wida menekankan pentingnya tidak membiarkan kasus seperti ini berlalu tanpa tindakan. Menurutnya, bukti yang ada menunjukkan bahwa pelaku jelas memiliki maksud seksual, dengan tujuh rekaman video korban di handphone pelaku. Dia menyoroti masalah pembiaran yang sering terjadi dalam kasus pelecehan seksual dan menyerukan agar masyarakat berbicara untuk mencegah bertambahnya korban.

“Masalahnya pembiaran terhadap perbuatan-perbuatan pelecehan seperti ini banyak terjadi gitu dimana-mana. Dan sebenarnya inilah saatnya kita untuk speak up gitu, menyuarakan hal ini supaya tidak bertambah lagi korban gitu,” kata dia.

6. Efek KBGO dan yang harus dilakukan korban saat alami kasus serupa

Grafis soal Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) (IDN Times/Aditya Pratama)

Wida juga menjelaskan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan korban ketika mengalami pelecehan semacam ini, pertama kumpulkan dan simpan bukti.

“Tentu saja kita harus mengumpulkan jadi disimpan semua bukti-bukti yang kita punya siapa tahu itu bisa digunakan, untuk pelaporan ke polisi atau pun ke pihak-pihak lain yang terkait,” kata dia kepada IDN Times, dikutip Senin (22/7/2024).

Kemudian, cari bantuan dari orang-orang yang dapat mendukung Anda, terutama jika situasinya cukup rentan. Dukungan dari teman, keluarga, atau organisasi terkait sangat penting. Wida juga mengatakan penting untuk memuat Kronologi secara rinci, termasuk kapan, di mana, dan siapa yang terlibat. Ini akan memudahkan jika kasus dibawa ke jalur hukum atau pihak terkait lainnya. Terakhir, periksa kondisi psikologis korban. Jika diperlukan, cari bantuan psikolog untuk menangani dampak emosional dari kejadian tersebut.

Panduan daring dari SAFEnet berjudul Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online juga menjelaskan soal dampak dari KGBO. Korban atau penyintas mengalami kerugian psikologis seperti depresi, kecemasan, ketakutan, dan bahkan pikiran bunuh diri akibat bahaya yang dihadapi. Secara ekonomi, mereka bisa menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan. Secara sosial, korban menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dari keluarga dan teman, terutama bagi wanita yang foto dan videonya disebarkan tanpa persetujuan. 

Mobilitas mereka terbatas, kehilangan kemampuan bergerak bebas dan berpartisipasi online atau offline. Mereka juga mengalami sensor diri, takut menjadi korban lebih lanjut, dan hilangnya kepercayaan pada teknologi digital, mengakibatkan putusnya akses informasi dan komunikasi.

“Selain dampak pada individu, konsekuensi utama dari kekerasan berbasis gender online adalah penciptaan masyarakat di mana perempuan tidak lagi merasa aman secara online dan/atau offline,” tulis panduan itu, dikutip Selasa, 30 Juli 2024.

Editorial Team