Jurnalis Korban Pelecehan di KRL, UU TPKS Belum Efektif Tangani KBGO

- Seorang jurnalis magang menjadi korban pelecehan saat naik Kereta Komuter Jakarta-Bogor oleh seorang pria yang merekam diam-diam.
- Kasus pelecehan tersebut diindikasikan masuk ke ranah kekerasan berbasis gender online (KBGO) dengan 221 korban melaporkan kasus KBGO, 152 di antaranya adalah perempuan.
- Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 belum dapat memproses penanganan KBGO secara lebih baik dan hanya mengatur soal NCII, IBA, hingga sekstorsi yang memiliki peluang untuk dapat mengkriminalkan korban.
Jakarta, IDN Times - Seorang jurnalis magang berinisiaL HS menjadi korban pelecehan saat naik Kereta Komuter Jakarta-Bogor. Seorang pria yang diperkirakan berusia 52 tahun merekam korban diam-diam. Saat dikonfrontasi, ternyata ada 7 video korban yang direkam pelaku. Ternyata, selain itu ada ratusan video porno di kartu memori milik pelaku.
Korban mengungkap mendapat kesulitan mengakses keadilan pada kasusnya, karena ada dugaan polisi menolak menangani kasus ini. Selain itu, polisi menyebut tidak ada bukti pelecehan fisik, dan perekaman tidak menunjukkan alat vital. Pelaku hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf.
Kasus pelecehan tersebut diindikasikan masuk ke ranah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Berikut penjelasan soal KBGO.
1. Jenis KBGO yang paling banyak dialami oleh para korban

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam Laporan Triwulan Pemantauan Hak-hak Digital di Indonesia pada 2023 mencatat, ada 221 korban melaporkan kasus KBGO. Sebanyak 152 di antaranya adalah perempuan. Usia pelapor korban tertinggi adalah 18 hingga 25 tahun.
SAFEnet dalam laporannya itu menjelaskan, jenis KBGO yang paling banyak dialami oleh para korban adalah ancaman penyebaran konten intim tanpa izin atau image-based sexual abuse (IBA).
“IBA mengacu kepada penggunaan konten, baik berupa foto maupun video korban, untuk memaksa, mengancam, melecehkan, mengobjektifikasi atau menyalahgunakan,” tulis laporan itu, dikutip Jumat (19/7/2024).
Ada juga kondisi saat seseorang menjadi korban Non-consensual Intimate Image of distribution (NCII) atau dikenal dalam publik sebagai revenge porn. Ada juga sekstorsi atau pemerasan dengan tujuan untuk penyalahgunaan konten seksual korban.
2. Belum ada kasus KBGO yang diproses lebih baik

Namun setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 diundangkan, SAFEnet mengungkapkan belum ada penanganan KBGO yang dapat diproses lebih baik.
Memang ada aturan yang termuat dalam Pasal 14 ayat 1 dan dua, yang menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman, transmisi informasi, atau penguntitan dengan muatan seksual tanpa persetujuan objek dapat dipidana dengan penjara hingga 4 tahun dan/atau denda hingga Rp200 juta.
Jika dilakukan dengan maksud pemerasan atau menyesatkan, hukumannya meningkat menjadi 6 tahun penjara dan/atau denda Rp300 juta.
Sementara pasal dua mengatur lebih detail, jika perekaman, transmisi informasi elektronik atau penguntitan dilakukan dengan memaksa, memeras, mengancam, atau menyesatkan, pidananya akan dikenakan maksimal enam tahun penjara dan denda Rp300 juta.
3. Laporan kekerasan seksual, khususnya KBGO tak serta merta dapat diproses

SAFEnet mencatat, dua pasal itu hanya mengatur soal NCII, IBA, hingga sekstorsi memiliki peluang untuk dapat mengkriminalkan korban.
“Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyatakan bahwa laporan kekerasan seksual, khususnya KBGO tidak serta merta dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” tulis laporan itu.