Iluastrasi MRT (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Sementara itu, Pakar Transportasi Unika, Djoko Setijowarno, mengakui, tidak banyak kota di dunia yang menerapkan ERP. Hal itu karena sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat.
Dia mencontohkan di Stockholm, Swedia. Djoko mengatakan, untuk menerapkan jalan berbayar elektronik, mereka melakukan referendum untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
"Singapura bisa menerapkan karena pemerintahnya sangat strong dan agak otoriter," katanya.
Dia mengakui, penerapan ERP memaksa pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan transportasi umum.
Djoko mengungkapkan, tidak sedikit publik yang beralasan angkutan umum di Ibu Kota tidak memadai. Padahal, kata dia, sebaik apapun angkutan umumnya, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil pribadi. Pasalnya, menggunakan mobil pribadi memiliki fleksibilitas, privasi, gengsi, status sosial, door to door, dan lain-lain.
"Padahal MRT juga sudah dibangun di tiap sudut, secara umum angkutan umum di Jakarta sudah cukup baik. Dengan ERP masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum," ungkapnya.
Untuk itu, dia pun mengusulkan agar tarif ERP mencapai Rp75 ribu untuk menimbulkan efek jera.
"Tarif Rp5 ribu sampai Rp20 ribu masih terlalu rendah, batas tertinggi bisa mencapai Rp75 ribu agar ada efek jera menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan umum," imbuhnya.
Meski demikian, secara politis Djoko meragukan anggota DPRD DKI Jakarta akan meloloskan Raperda PL2SE karena akan mencalonkan diri kembali menjadi anggota legislatif untuk periode 2025-2029.
"Mereka merasa dilema, satu sisi anggota DPRD akan mencalonkan diri jadi anggota legistilatif, di sisi lain konstituen yang menolak ERP kemungkinan tidak akan memilihnya. Sementara, jika tidak dijadikan Perda, Jakarta akan tambah semakin macet, maka warga nanti akan menyalahkan DPRD bukan Gubernur," imbuhnya.