Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kemiskinan
Ilustrasi kemiskinan (IDN Times)

Intinya sih...

  • Dua faktor terbesar yang menghambat kesehatan anak, adalah keluarga tidak bisa memenuhi hak kesehatan anak karena kurangnya edukasi dan faktor kemiskinan.

  • Masyarakat modern kehilangan kebiasaan peduli sesama dan Program Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang dikembangkan KemenPPPA untuk menumbuhkan kembali kebiasaan sosial.

  • Terbatasnya akses kesehatan anak jadi tanggung jawab seluruh sektor, dan semua kementerian bertanggung jawab.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, mengatakan kemiskinan menjadi masalah utama yang menghambat pemenuhan hak kesehatan anak di Indonesia.

"Nah, ini misalnya sebagai contoh nih kan, 2025 terkait dengan tiga kasus stunting yang parah, misalnya. Nah, kita bisa lihat bahwa ternyata memang masalahnya ekonomi, dan itu ada masalah kemiskinan. Berarti kan gak boleh ada keluarga yang miskin," ujar Pribudiarta, dalam Media Talk Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Perlindungannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025).

1. Kurang edukasi dan kemiskinan jadi faktor penghambat kesehatan anak

Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Keluarga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Lovely Daisy dalam Media Talk Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Perlindungannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (IDN Times/Rachel Kathryn).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Keluarga Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Lovely Daisy, menyebut dua faktor penyebab keluarga tidak bisa memenuhi hak kesehatan anak. Pertama, karena tidak teredukasi, dan kedua karena kemiskinan.

Menurut Daisy, edukasi yang sudah berjalan melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dan kelas ibu hamil, berjalan bersama dengan rumah layak huni dan pangan bergizi.

"Yang pertama, tidak tahu. Yang kedua, karena kemiskinan. Karena kemiskinan itu yang tidak sanggup, jadi tidak peduli semuanya. Untuk makan saja...," kata dia.

2. Adanya modal sosial tanpa kebiasaan gotong royong

Media Talk Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Perlindungannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (IDN Times/Rachel Kathryn).

Di sisi lain, Pri menyoroti, perubahan sosial yang membuat masyarakat modern kehilangan kebiasaan peduli sesama. Menurut dia, program Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang dikembangkan KemenPPPA jadi salah satu solusi.

"Nah, dari konsep itu (RBI) sebenarnya ingin menumbuhkan balik kebiasaan-kebiasaan sosial. Di mana sebenarnya zaman dulu setiap anak, anak siapa pun yang ada di desa, itu adalah anak kami," kata dia.

Program tersebut, kata Pri, diharapkan dapat menjadi ruang diskusi bagi berbagai stakeholder.

"Nah, Bu Menteri itu mengembangkan RBI juga sih. Nah, kita harapkan sebenarnya RBI bisa mendiskusikan. Bisa RBI mendiskusikan stunting, ibu-ibu arisan, misalnya, ibu-ibu pengajian, bapak-bapak pengajian misalnya, itu bisa mendiskusikan mengenai stunting," ujar dia.

3. Terbatasnya akses kesehatan anak jadi tanggung jawab banyak sektor

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu dalam Media Talk Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Perlindungannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (IDN Times/Rachel Kathryn).

Pri menjelaskan, pada dasarnya semua kementerian mengambil tanggung jawab atas masalah tersebut. Semua turut serta mengatasi masalah ini.

"Terjadi kasus misalnya anak cacingan, anak keracunan makanan, anak stunting, dan lain sebagainya, maka pertanyaan pertama adalah siapa sebenarnya yang bertanggung jawab? Jadi, kalau kita bilang bahwa yang bertanggung jawab Kementerian Kesehatan, ya, Kementerian Kesehatan sebagai salah satu yang bertanggung jawab. Tapi bahwa kementerian lain juga yang bertanggung jawab," kata dia.

Jika hak anak terpenuhi, terhindar dari kekerasan atau eksploitasi, maka anak akan menjadi generasi berkualitas.

"Nah, apabila dia (anak) dipenuhi haknya, dan dia terhindar dari kekerasan, eksploitasi, dan masalah, maka dia akan jadi manusia yang berkualitas," kata Pri.

Editorial Team