Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sosok Nuraini Hilir yang turut menceritakan kisahnya di Buku "Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran" (dok. IDN Times/Istimewa)

Jakarta,  IDN Times - Kilas balik ke semangat reformasi 1998 tertuang dalam buku Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran. Salah satu kisah yang dibagikan adalah dari mata Nuraini Hilir yang masih mengingat kuat kekerasan yang dialaminya.

Pada 1998 di Jalan Gatot Subroto dia merekam demonstrasi penolakan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia periode pemerintahan transisi Presiden BJ. Habibie. Ribuan orang di ingatan Nuraini Hilir, bersama sejumlah kawan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini disebut PDI Perjuangan dari berbagai kota, ada di barisan depan, berhadap-hadapan dengan barisan tentara, dan bersiap menunggu perintah koordinator lapangan (korlap) untuk menembus blokade menuju gedung DPR.

Jelang malam, suasana meledak, dia dan para demonstran berlari tunggang langgang. Tentara, kata dia, berburu dengan pentungan dan senapan yang digenggam di tangan. Nurani, kemudian merasa ada yang menghantam kepalanya.

"Mataku berkunang-kunang. Pusing. Kepalaku perih sekali. Sekuat tenaga aku berlari menyelamatkan diri. Tepat di bawah lampu jalan di kompleks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, aku baru sadar, kerudung putih yang kukenakan telah berlumur darah. Aku meraba kepalaku, darah mengucur, terus-menerus,” kata dia menceritakan kembali pengalaman itu, dikutip IDN Times, Kamis (7/3/2024).

1. Pengalaman Nuraini di Tragedi Semanggi I

ilustrasi kawasan Semanggi, Jakarta (flickr.com/Emhasila)

Setengah memaksa, Nuraini meminta ikut sebuah mobil yang melintas untuk membawanya ke Rumah Sakit St. Carolus. Syukur dia selamat. Nuraini dapat perawatan di sana selama empat hari, dengan kepala yang dijahit dan meninggalkan tanda. Kerudung putih yang berbalur darah itu, kata dia masih disimpan.

Hari itu, 13 November 1998 kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I. Tindakan kekerasan aparat bersenjata menewaskan 17 orang, termasuk di antaranya adalah Bernadinus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Atma Jaya.

2. Pengalaman ditangkap aparat

Keluarga korban orang hilang dalam peristiwa penculikan 1998 saat jumpa pers di Cikini, Jakarta Pusat. (IDN Times/Amir Faisol)

Nuraini Hilir, telah akrab dengan aktivitas gerakan di Kampusnya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia belajar di fakultas filsafat UGM angkatan 1991. Perempuan kelahiran 1973 ini mulai rajin mengikuti aksi demonstrasi yang digelar para mahasiswa.

Sebagai aktivis perempuan, pengalaman ditangkap aparat sudah dirasakannya. Polda di daerah Condongcatur, Sleman jadi pengalaman pertama Nurani ditangkap karena aksi pada 1992.

Bergabung dengan PRD pada 1994, Nuraini mengikuti sejumlah aksi. Pada 8 Juli hingga 9 Juli 1996, dia mengikuti aksi pemogokan buruh di kawasan industri Tandes, Surabaya. Ribuan buruh dari 10 pabrik turut serta dalam aksi pemogokan tersebut.

“Momen aksi tersebut tak akan pernah kulupakan dan makin meneguhkan tekadku untuk terus berada di tengah barisan massa. Saat itu, di depan mataku, aku menyaksikan kawan-kawan buruhku dihajar aparat dengan senapan dan pentungan. Aku menyaksikan seorang kawan yang diseret di aspal dengan wajah berdarah-darah, tetapi ia tetap mengepalkan tangan dan berteriak, “Hidup rakyat!” ujarnya.

3. Nuraini mempersiapkan kontestasi Pemilu dengan segala daya

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Saat PRD dinyatakan lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 1999, merupakan pengalaman amat berkesan bagi dia. Ini jadi Ini adalah Pemilu multipartai pertama pasca Orde Baru. Ketika belasan kader PRD masih mendekam di penjara Cipinang, Salemba dan Surabaya, dan sejumlah kawan hilang diculik, Nurani mempersiapkan kontestasi Pemilu dengan segala daya. 

“Jadi perwakilan PRD untuk berkampanye di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Berbekal pengalaman orasi di lapangan, juga ingatanku akan pidato Bung Karno yang kerap kudengar di masa kanak-kanakku, pidatoku di TVRI penuh gelegar. Kawan-kawan dan sejumlah orang memuji penampilanku,” ujarnya.

4. Lakukan advokasi dan pendidikan politik untuk perempuan

Ilustrasi perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

PRD memang gagal meraih kursi legislatif namun pengalam ikut Pemilu 1999, kata dia, jadi pengalaman besar untuk mengonsolidasikan diri hingga ke pelosok Indonesia.

“Kusadari bahwa darah politikku terlampau kuat untuk istirahat dari hiruk-pikuk politik. Pada 2001 aku tidak lagi menjadi pengurus di Komite Pimpinan Pusat PRD, tetapi aku tetap melakukan advokasi dan pendidikan politik untuk perempuan,” ujarnya.

Dia juga kini membangun Yayasan Sekar dan kembali menjadi pengurus PDI Perjuangan. Hingga jelang Idul Fitri 2022, Nurani menjalani operasi di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. 

“Aku didiagnosa kanker rektum. Pascaoperasi, aku harus menjalani delapan kali kemoterapi. Pertama kulakukan adalah berdamai dengan penyakitku, lalu mencari tahu sebanyak-banyaknya informasi tentang penyakitku ini. Di awal Desember 2022, dokter menyatakan aku “bersih” dari sel kanker,” katanya.

Buku "Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran" menjadi relevan dalam konteks saat ini, mengingat semangat reformasi tahun 1998. Buku ini menawarkan perspektif baru dengan mengisahkan gerakan perempuan melalui suara pelaku sejarahnya sendiri.

Dengan mengeksplorasi sudut pandang perempuan, buku ini menantang wacana patriarki yang seringkali mengabaikan peran perempuan dalam sejarah. Melalui narasi pengalaman perempuan, buku ini juga memberikan ruang untuk pengungkapan kebenaran yang adil dan mendukung proses penyembuhan trauma masa lalu. Profil perempuan yang terorganisir di berbagai sektor dalam buku ini mencerminkan kontribusi mereka dalam membentuk Indonesia sebagai negara demokratis.

Editorial Team