Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hati Ibu Bersatu: Kesamaan Gerakan HAM Plaza de Mayo dan Kamisan

Gerakan ibu-ibu Las Madres de la Plaza de Mayo (cipdh.gob.ar)

Jakarta, IDN Times - Gerakan Plaza de Mayo di Argentina dan Kamisan di Indonesia memiliki kesamaan dalam konteks perjuangan hak asasi manusia (HAM) dan penentangan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melanggar HAM.

Kegiatan ini berasal dari dua negara yang berbeda, namun berasal dari hati para ibu yang ingin memperjuangkan hak anak-anaknya. Sementara di Indonesia, aksi diam Kamisan pertama kali digelar pada 18 Januari 2007. Aksi ini diprakarsai oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat, yakni Maria Sumarsih, Suciwati istri dari Munir, dan Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, Bedjo Untung.

1. Upaya ibu Argentina mencari anak-anak mereka yang hilang

Gerakan ibu-ibu Las Madres de la Plaza de Mayo (europarl.europa.eu)

Gerakan ini dimulai pada 30 April 1977, saat 14 ibu menggelar protes pertama di  Plaza de Mayo yang merupakan lapangan terkenal di Buenos Aires, Argentina. Para ibu ini berjalan perlahan, bergandengan tangan, mengelilingi lapangan. Setiap minggu, lebih banyak ibu bergabung dengan protes ketika aktivis kiri dan orang yang dituduh bekerja sama dengan mereka terus 'menghilang'.

Gerakan Plaza de Mayo lahir dari upaya sejumlah ibu Argentina mencari anak-anak mereka yang 'menghilang' selama Perang Argentina pada 1976-1983. Pada periode ini, rezim militer menculik, menyiksa, dan membunuh ribuan lawan politik, mencuri anak-anak yang lahir dari tahanan dan menghapus jejak korban.

Dengan syal putih yang dikenakan mereka, para ibu rumah tangga yang tak berpolitik ini berani memprotes militer di puncak kediktatorannya.  Mereka menuntut agar pejabat yang terlibat dalam represi diadili. Ratusan pejabat ini kemudian dinyatakan bersalah. 

2. Terbunuhnya para ibu yang merupakan tiga anggota pendiri

Gerakan ibu-ibu Las Madres de la Plaza de Mayo (cipdh.gob.ar)

Las Madres de la Plaza de Mayo menarik perhatian internasional dengan syal putih ikonik mereka, foto dan nama anak-anak yang hilang, serta permohonan untuk kembalinya mereka dengan selamat. Rezim membunuh tiga anggota pendiri gerakan ini dalam upaya untuk menutupnya. Pada Desember 1977, Azucena Villaflor de Vincenti, Mary Ponce de Bianco, dan Esther Ballestrino de Careaga diculik, disiksa, dan dilemparkan dari pesawat. 

Anggota Las Madres lainnya dipukuli dan ditahan tetapi melanjutkan perlawanan damai mereka. Las Madres kemudian beralih untuk menuntut keadilan ketika pelanggaran hak asasi manusia besar, ekonomi yang merosot, dan kekalahan Perang Falkland mengakhiri rezim militer pada tahun 1983.

3. Pecah asosiasi Las Madres pada 1986

Aksi Kamisan ke-806 dengan tema Adili Jokowi dan Jenderal Pelanggar HAM di depan Istana Presiden RI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Las Madres de Plaza de Mayo terpecah pada tahun 1986. Asosiasi utama yang dipimpin oleh Hebe de Bonafini menolak mengakui kematian aktivis Argentina sampai mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan mereka diadili. Kelompok pecahan bernama Founding Line yang fokus pada pemulihan sisa-sisa korban. Hebe de Bonafini, yang terpilih sebagai pemimpin Madres yang tidak terbagi pada tahun 1979.

Sementara itu, Kamisan adalah gerakan serupa di Indonesia yang dimulai pada tahun 2007 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Setiap Kamis pertama setiap bulan, para aktivis dan keluarga korban yang hilang atau menjadi korban pelanggaran HAM berkumpul di depan Istana untuk menyuarakan keadilan. Seperti Gerakan Plaza de Mayo, Kamisan juga menuntut transparansi, kebenaran, dan pertanggungjawaban dari pemerintah terkait kasus-kasus pelanggaran HAM.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us