Kisah Dua Anak Teroris Bangkit dari Puing-Puing Radikalisme

Artikel ini dibuat untuk memperingati Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli
Jakarta, IDN Times - Ledakan di Rusunawa Wonocolo pada 13 Mei 2018 lalu merupakan satu dari serangkaian teror yang menyerang Kota Surabaya. Pelakunya adalah keluarga Anton Ferdiantono, anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya yang berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi, dedengkot kelompok terorisme paling berbahaya abad 21, Islamic State Iraq and Syria (ISIS).
Pemicu kejadiannya adalah senjata “makan tuan” yang ditengarai berasal dari bom milik Puspitasari, istri Anton. Insiden malam itu merenggut nyawa Puspitasari bersama anak perempuan pertamanya, HAR (17). Sementara Anton, menyusul mereka berdua setelah ditembak mati oleh polisi.
“Satu orang atas nama Anton masih memegang switching dan kami tidak mau ambil resiko, makanya kami tembak,” kata Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol. Frans Barung Mangera.
1. Sang anak dipindahkan ke BRSAMPK Handayani
Selang kejadian, ibu dan adik kandung Anton yang tinggal bersebelahan tidak lagi terlihat di kawasan rusun. Begitu pula dengan ketiga anaknya yang berhasil selamat dari ledakan, AR, 15, FP, 11, dan GHA, 10.
Mereka diamankan atas kekhawatiran mendapat tekanan dan resistensi dari penghun rusunawa. Terlebih, ada tiga anak-anak yang harus dijaga masa depannya. Kini, mereka telah menjadi bagian dari warga Ibu Kota.
“Ya beberapa kali ada familinya, ditemani polisi ya, datang ke sini untuk menyelesaikan administrasi. Saya waktu itu juga sempat bersama polisi ke alamat KTP Pak Anton, tapi sudah rusak rumahnya, sudah gak ada yang tinggal. Sekarang mereka pindah ke Jakarta, anak-anaknya tinggal di Depsos,” terang Madiyana selaku pengurus rusunawa.
IDN Times kemudian berkunjung ke Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani yang terletak di bilangan Bambu Apus, Jakarta Timur. Dulunya tempat itu dikenal sebagai Panti Sosial Anak. Di sanalah kini GHA, FP, dan AR tinggal.
Tidak seperti kedua adiknya, AR banyak menghabiskan waktu bersama neneknya. Ia juga masih mengenyam pendidikan di sekolah umum. AR berani menolak ajaran radikal yang disodorkan kedua orangtuanya. Sayangnya, kedua adiknya tidak memiliki keberanian serupa.
Di bawah naungan Kementerian Sosial, mereka menjalani serangkaian program deradikalisasi. Mereka diajak kembali mencintai Bumi Pertiwi, tempat kakinya berpijak dan tempat nantinya mereka disemayamkan.
“Pada 12 Juni 2018, setelah menjalani rangkaian medis, Polda dan Pemprov Jatim menunjuk kami untuk memberikan rehabilitasi sosial. Dan ini memang satu-satunya tempat rehabilitasi yang menangani anak-anak dengan paham radikal,” terang Sri Musfiah selaku pekerja sosial di balai tersebut.