Fenomena 'Bomber Keluarga' di Teror Surabaya

JAKARTA, Indonesia—Serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya mengungkap modus baru serangan kelompok teroris di Indonesia. Baik dalam aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya maupun dalam serangan bom bunuh diri Mapolrestabes Surabaya, para pelaku ternyata berasal dari satu keluarga yang sama.
"Pelaku ini diduga satu keluarga yang melakukan serangan. Dari tadi pagi, tim Alhamdulillah sudah (melakukan investigasi). Kelompok satu keluarga ini terkait JAD Surabaya,” kata Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian saat memberikan keterangan pers terkait bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Minggu 13 Mei 2018.
Dalam aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, Senin pagi 14 Mei 2018, rekaman CCTV menunjukkan para pelaku berboncengan menggunakan sepeda motor. Mereka terdiri dari seorang pria, seorang wanita dan seorang anak. Dari identifikasi polisi, para pelaku juga ternyata masih satu keluarga.
Serangan terkoordinasi
Dari dua serangan tersebut, sejumlah fakta baru di jagat terorisme mengemuka. Pertama, aksi bom bunuh diri di tiga gereja menunjukkan adanya serangan terkoordinasi dalam aksi terorisme. Seperti diberitakan, ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercelah Ngagel, GKI Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna terjadi hanya berselang beberapa menit saja.
Pakar terorisme Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menyebut, serangan tersebut menunjukan proses perencanaan yang lebih matang. “Serangan-serangan sebelumnya tampak kurang profesional,” ujar Sidney seperti dikutip oleh AFP.
Ini kali pertama serangan teroris terjadi di tiga titik hampir secara bersamaan di Indonesia. Dalam kasus Bom Bali pada 12 Oktober 2002, ledakan bom hampir secara bersamaan terjadi di dua lokasi, yakni Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta. Ledakan ketiga baru menyusul beberapa jam setelahnya di Kantor Konsulat AS, Bali.
Lazimnya, aksi bom bunuh diri terjadi dengan jeda berminggu-minggu atau bulanan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. Serangan terkoordinasi yang terjadi secara bersamaan dalam satu hari atau dua hari berturut-turut juga sangat jarang terjadi.

Pelaku perempuan
Serangan tersebut juga mengafirmasi dugaan bahwa kelompok teroris di Indonesia telah lama berupaya menggunakan perempuan sebagai ‘pengantin’. Dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan kepolisian, diketahui pelaku bom bunuh diri di GKI Dipenogoro Surabaya merupakan perempuan berinisial K. Dalam aksi tersebut, K membawa serta dua anak perempuannya FS dan VR.
Bom bunuh diri menggunakan perempuan sebagai pengantin sebelumnya sempat mengemuka pada 2016 lalu. Pada Desember tahun itu, polisi menangkap terduga teroris Dian Yulia Novi di Bekasi, Jawa Barat. Perempuan asal Cirebon itu berencana menyerang Istana Kepresidenan dengan bom bunuh diri sebelum ditangkap.
Penggunaan perempuan sebagai pengantin mulai lazim digunakan dalam serangan teroris sejak 1960-an. Sepanjang 1985-2006, sekitar 15% pelaku bom bunuh diri merupakan perempuan. Modus penggunaan perempuan pertama kali ‘dikenalkan’ organisasi teroris Boko Haram yang berbasis di Nigeria. Belakangan, Islamic State (IS) juga mulai menggunakan perempuan sebagai pengantin.
Bomber keluarga
Salah satu fakta yang paling mengejutkan dalam serangkaian aksi teror di Surabaya ialah adanya hubungan kekerabatan dari para pelaku bom bunuh diri. Dalam kasus bom bunuh diri di tiga gereja, hasil olah TKP polisi menunjukkan bahwa semua pelaku berasal dari keluarga yang sama.
Sang ayah, Dita Oepriyanto tewas dalam ledakan bom di GPPS. Istri Oepriyanto yang berinisial K tewas dalam ledakan di GKI Jalan Diponegoro. Sedangkan anak mereka berinisial YF dan FH meledakkan bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Oepriyanto diketahui merupakan pimpinan Jamaah Ansarut Daulah (JAD) di Surabaya yang berafiliasi dengan IS.
Dalam aksi serangan teroris di Mapolrestabes Surabaya, polisi juga mengidentifikasi para pelaku berasal dari satu keluarga yang sama. “Kepala keluarganya berinisial TM,” kata Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin dalam konferensi pers di Mapolda Jatim, Senin 14 Mei 2018.
Menurut pengamat terorisme Universitas Udayana AA Bagus Surya, fenomena bomber berasal dari satu keluarga yang sama merupakan hal baru di jagat terorisme. “Bomber sekeluarga saya rasa memang modus baru. Apalagi dengan profil keluarga dengan beberapa anak seharusnya memiliki kehidupan yang normal,” ujarnya saat berbincang dengan Rappler.
Ia menambahkan, aparat keamanan juga bakal kian sulit mendeteksi serangan jika modus bomber keluarga itu dipraktekkan dalam aksi-aksi teror ke depan. “Kondisinya jadi lebih rumit. Selain itu, teori rasionalitas juga sulit untuk membedah perilaku sekeluarga menjadi bomber,” jelasnya.
Lebih jauh, Agung juga mengaku khawatir dengan kinerja kepolisian dan aparat intelijen yang lamban dalam mendeteksi para pelaku dan mengantisipasi serangan. “Ini bukan pekerjaan satu atau dua tahun. Meyakinkan satu keluarga untuk jadi bomber perlu waktu yang lama,” cetusnya.
—dengan laporan AFP/Rappler.com