Jakarta, IDN Times - Ketika menjejakan kaki di Hong Kong tahun 1999 lalu, aktivis buruh migran Eni Lestari Andayani memiliki mimpi besar. Ia ingin memperbaiki nasib keluarganya yang berada di Kediri, Jawa Timur.
Terlahir sebagai puteri sulung, perempuan berusia 40 tahun itu, tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi di bangku kuliah karena keterbatasan biaya. Maka, ia kemudian mendaftar sebagai buruh migran melalui calo pada tahun 1999 usai lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Maka ia diberikan pelatihan di Surabaya sebelum akhirnya dikirim ke Hong Kong. Namun, menurut Eni, itu bukan sebuah pelatihan.
"Sebenarnya, bukan training, tapi merupakan proses untuk mengontrol agar kita tunduk dan tidak melawan," ujar Eni seperti mengutip pernyataan media beberapa waktu yang lalu.
Orang tua lebih mendukung Eni untuk bekerja di Hong Kong karena sistem hukum di sana lebih terjamin untuk buruh migran.
"Selain itu, di tiga negara tadi (Timur Tengah, Singapura dan Malaysia), banyak kasus yang kerap menimpa TKI. Maka orang tua merasa lebih aman kalau saya berangkat ke Hong Kong," ujar Eni kepada IDN Times beberapa waktu yang lalu melalui telepon.
Sayang, begitu tiba di Hong Kong, mimpinya sempat kandas. Paspornya diambil oleh agen penempatan TKI dan selama tiga bulan pertama, ia tidak pernah menerima gaji.
Lalu, bagaimana Eni bertahan hidup di Hong Kong?