Pandeglang, IDN Times - Sarminah duduk kelelahan di atas reruntuhan bangunan yang tak lagi berbentuk. Ia baru saja mengais puing-puing, mencari sisa harta yang masih bisa diselamatkan. Perempuan berusia 50 tahun itu sama sekali tidak menduga bila gelombang tsunami setinggi enam meter menghancurkan rumah yang telah dihuninya selama lima tahun.
Di bawah sehelai terpal, ia berlindung dari teriknya matahari pesisir pantai. Tidak ada tembok atau ilalang yang melindunginya dari terpaan angin laut yang amat menusuk tulang. “Lumayan tuh dapat empat bungkus kecap,” katanya sembari melepas senyum. Entah senang atau kecewa, hanya dia yang tahu.
Sarminah merupakan salah satu warga Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, yang merasakan derasnya terjangan ombak akibat erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 silam. Di usianya yang sudah senja, ia sudah tidak bisa berlari ketika bencana tiba-tiba datang. Terlebih, tsunami malam itu terjadi tanpa peringatan.
“Kata saya mah itu teh apa, kok putih-putih. Gak tau kalau itu tsunami. Udah gak keburu lari tiba-tiba udah kebawa air,” terang dia seakan mengingat kejadian malam itu. Sarminah terseret ombak. Ia berteriak meminta tolong kepada siapapun yang melihatnya. Ia khawatir bila malam itu menjadi kesempatan terakhirnya untuk menghela nafas. “Saya mah udah mikir, begini kali ya rasanya mati,”.