ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Mardya Shakti)
Rohmah bercerita, Zunia menjalani pengobatan di dua tempat, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja untuk penanganan kesehatan mental dan jiwa, serta Rumah Sakit Islam Sukapura untuk terapi medisnya.
Rohmah tidak lahir dengan sendok emas. Tempat tinggalnya berada di bilangan Koja, Jakarta Utara, kawasan padat penduduk. Suaminya bekerja sebagai pegawai bengkel dengan pendapatan sekitar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per hari.
Pengobatan Zunia bergantung pada asuransi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) kelas III dengan iuran sekitar Rp42 ribu setiap bulan. Kendati begitu, tidak jarang Rohmah harus merogoh kantong pribadi untuk menebus obat-obatan yang tidak tersedia di rumah sakit.
Bagi sebagian kalangan, obat seharga Rp100 ribu untuk penanganan ADHD mungkin terbilang terjangkau. Tapi, bagi keluarga Rohmah, menyisihkan uang Rp10 ribu saja bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dikorbankan, termasuk uang makan sehari-hari.
Terkait kebutuhan susu Zunia, Rohmah hanya bisa mengharapkan bantuan pemerintah. Dia bahkan tidak mampu untuk membeli susu bubuk kotak seharga Rp60 ribu. “Akhirnya beli susu bubuk saset yang Rp3 ribu,” ungkap dia.
Di tengah perbincangan, Zunia tiba-tiba menangis kencang. Untuk kesekian kalinya, dia membenturkan kepalanya ke keramik lantai. Peristiwa itu terjadi karena sang ibu hanya meleng sesaat. Padahal, beberapa saat sebelumnya, Zunia sempat anteng karena asyik menonton YouTube bersama kakaknya.
“Tuh kan sakit. Tuh sampe benjol kepalanya,” kata Rohmah, segera memeluk Zunia dan mengelus-elus kepalanya, berusaha menenangkan sang buah hati.
Ibu berusia 34 tahun itu akhirnya meminta sang kakak supaya Zunia dibawa ke rumah kakeknya, yang berjarak sekitar 2,3 kilometer dari kediamannya. Bisa ditempuh dalam waktu delapan menit dengan mengendarai motor.
“Kalau di sana ada bapaknya, jadi kakaknya bisa gantian jaga,” ujarnya.
Memaksa Zunia untuk menaiki motor ternyata tidak gampang. Seolah tidak mau dibawa ke rumah kakeknya, dia mencengkeram erat setiap barang yang ada di sekitarnya, mulai dari pagar hingga pintu. Bahkan, dia berpegangan dengan puing-puing kayu bekas renovasi yang dipenuhi paku. Beruntung hari itu tidak ada benda tajam yang bersarang di tangannya.
“Yaa kayak gini mas kita selama empat tahun. Pengobatan juga belum ada hasilnya. Bingung saya, sampai saya bawa ke 'orang pinter', segala dikasih air, dirukiah juga pernah, bahkan ada yang dokternya nyuruh saya ikut rukiah. Ada yang suruh bawa ke Ustaz Danu di MNC. Ya kata saya ogah, bayarannya mahal, saya gak punya uang,” terang Rohmah.
Sebab tak kunjung membaik, tidak jarang Rohmah mempertanyakan metode pengobatan yang dijalani anaknya. Setahu dia, pendekatan dokter hanya bergantung pada penambahan atau pengurangan dosis obat.
“Dokter cuma ngasih obat penenang dosis tinggi. Kalau konsul berikutnya tantrum berkurang, dosis obatnya dikurangin. Nah kambuh lagi tantrumnya, ya ditambahin lagi dosisnya. Obatnya juga itu-itu doang. Gak ada kayak rencana penyembuhan gitu,” ulas dia.
Obat dosis tinggi dengan efek samping mengantuk ternyata membawa permasalahan lain. Setelah mengonsumsi obat, Zunia akan tertidur dalam waktu lama. Tidak jarang dia mengamuk kelaparan setelah tertidur selama 10 hingga 12 jam.
Sebaliknya, ketika mengonsumsi obat dosis rendah, efek dari obat tersebut hanya bertahan 30 menit hingga satu jam. Setelah itu Zunia akan mengamuk lagi.
Terlepas dari dosisnya, belakangan ini Rohmah mendapati tantangan baru. Zunia mulai bosan mengonsumsi obat-obatan. Dia menyadari gelagat ketika sang ibu ingin menyuapi obat.
Beberapa kali Rohmah menyiasati dengan mencampurkan obat ke dalam vitamin. Supaya Zunia tidak merasakan pahit. Namun, karena keterbatasan uang, Rohmah kerap kesulitan untuk membeli vitamin.
“Dia tahu kalau saya buka obat. Nanti pas makan langsung disembur ama dia, dibuang obatnya,” ungkap dia.
Di sisi lain, Rohmah bersyukur karena terapi yang dijalani Zunia mulai membuahkan hasil. Sekalipun perkembangannya lambat. Zunia menjalani terapi dua kali seminggu dengan durasi 45 menit setiap pertemuan, yaitu di RS Islam Sukapura pada Kamis dan di Rumah Autis, tempat Zunia bersekolah, pada Jumat.
Semula Zunia hanya bisa mengonsumsi makanan yang dihaluskan dengan blender. Setelah mengikuti terapi, dia sudah bisa memakan nasi asal ditambahkan dengan kuah.
“Gak bisa kalau dikasih makanan kering kayak nasi sama telur dadar. Pasti keselek. Makan buah juga gak bisa dia, gak bisa ngunyah. Makanya dia kurang gizi,” kata Rohmah.
Rohmah bisa sedikit bernapas lega karena mendapat dokter yang pengertian. Setiap jadwal konsultasi, sekitar dua minggu sekali atau ketika obat habis, Rohmah tidak diharuskan membawa Zunia. Dia hanya perlu datang menemui dokter untuk menyampaikan perkembangan dan menebus obat.
“Bayangin aja, pas naik motor dia masih suka jedotin kepala ke speedometer. Terus anak tantrum begini gak bisa diem. Di rumah sakit dia lari-larian, mukul-mukulin orang, resek dah. Kadang saya malu juga diliatin orang,” curhat Rohmah.
“Pernah juga waktu itu dibawa ke RS Cipto (Mangunkusumo). Tapi ya gitu, kita nunggu dari jam 7 pagi sampai 4 sore. Capek banget saya bawa Zunia, dia juga tambah ngamuk-ngamuk karena capek juga,” katanya, menceritakan pengalaman berobat di rumah sakit lain.