Massa aksi Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/5/2025). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Berdasarkan pemantauan yang telah dlakukan tersebut, TAUD menemukan fakta serta adanya pola pengamanan massa aksi yang dinilai hal tersebut dilakukan secara serampangan dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah temuan TAUD di lapangan!
Pertama, adanya tindak kekerasan terhadap petugas medis. Kekerasan kepada petugas medis ini terjadi di Jakarta Pusat, 1 Mei 2025. Dari beberapa dokumentasi yang dikumpulkan, tampak sekitar puluhan aparat kepolisian yang mengepung petugas medis. Pengepungan itu dilanjutkan dengan upaya penggeledahan paksa, ejekan, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang kepada petugas medis.
Kedua, kekerasan fisik, di antaranya massa aksi dipukul pada bagian kepala, dada, dan sekujur tubuh, ditendang, dipiting, diinjak dengan sepatu lars, dilindas dengan kendaraan bermotor. Bahkan kekerasan fisik berulang serta terus menerus ketika penangkapan tersebut dilakukan dalam durasi 3-4 menit.
Ketiga, penjebakan penangkapan dengan menggunakan ambulans. Tindakan ini terjadi di Semarang, 1 Mei 2025. Hal ini merupakan bentuk penjebakan (entrapment) yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif menangkap paksa massa aksi yang ingin mengakses fasilitas kesehatan di dalam ambulans tersebut.
Keempat, pembingkaian buruk terhadap massa aksi. aparat kepolisian melakukan tindakan pembingkaian (framing) kepada massa aksi yang melakukan demonstrasi dengan tuduhan sebagai kelompok anarko. Pernyataan itu jelas menunjukkan upaya mendegradasi gerakan masyarakat sipil yang melaksanakan hak ekspresinya dengan melakukan “pembunuhan karakter” terhadap massa aksi yang ditangkap oleh aparat kepolisian.
Kelima, kekerasan seksual terhadap perempuan. Salah satu korban juga memberikan kesaksiannya melalui akun X pribadinya. Dalam kesaksiannya, korban mengaku diteriaki oleh aparat kepolisian dengan sebutan ‘lonte,’ ‘pukimak,’ hingga menarik baju dalam korban. Selain itu, dalam dokumentasi tersebut, terlihat seorang perempuan yang ditarik paksa untuk ditangkap oleh aparat kepolisian.
Keenam, pengepungan kampus oleh aparat kepolisian. Saat massa aksi sudah menyelamatkan diri ke dalam salah satu kampus di Jawa Tengah, tampak sekitar ratusan aparat kepolisian serta orang tidak dikenal memadati sekitaran kampus untuk mengepung massa aksi di dalam kampus. Hal ini mengakibatkan banyak massa aksi mengalami ketakutan.
Ketujuh, penggunaan kekuatan berlebihan. Penggunaan kekuatan secara berlebihan, yakni dengan senjata pengendali massa yang serampangan. Berdasarkan dokumentasi yang dikumpulkan, terlihat sejumlah penggunaan senjata pengendali massa seperti gas air mata dan meriam air (water cannon) yang digunakan secara masif tanpa memperhitungkan dampaknya yang cukup berbahaya kepada warga sipil.
Kedelapan, proses pemeriksaan yang tidak manusiawi. Penyiksaan psikis juga ditemukan saat melakukan pendampingan terhadap peserta aksi di Polda Metro Jaya. Semua massa aksi diperiksa sejak 1 Mei 2025 malam hingga 2 Mei 2025 pagi, hingga sekitar pukul 05.00 WIB dalam kondisi fisik yang kelelahan dan luka-luka sehabis aksi dan kesakitan akibat mengalami kekerasan
Kesembilan, penutupan akses fasilitas publik. Pagi hari sebelum aksi dilakukan, polisi telah menutup beberapa fasilitas umum dengan dalih sebagai bagian dari “pengamanan.” Faktanya, hal ini justru mengganggu pengguna fasum dan membuat akses evakuasi juga tertutup seperti JPO Jalan Gatot Subroto yang merupakan satu-satunya jembatan yang dapat digunakan.