Ilustrasi pilkada serentak. (Dok.IDN Times)
Haykal menilai, persoalan utama bukan pada mekanisme pilkada langsungnya, melainkan pada tata kelola pemilu yang belum serius dibenahi negara. Jika dicermati, tingginya ongkos politik bukan disebabkan oleh mekanisme pilkada langsung, melainkan biaya kampanye yang tidak terkendali, termasuk praktik politik uang seperti jual beli suara maupun jual beli kandidasi.
"Riset menunjukkan bahwa sekitar 25 sampai 33 persen pemilih pada Pemilu 2014 terpapar politik uang. Angka ini sangat mungkin meningkat pada Pemilu 2019, Pemilu 2024, hingga Pilkada 2024. Fakta ini memperlihatkan bahwa politik uang berlangsung masif di seluruh arena elektoral di Indonesia, termasuk pilkada," ucap Haykal.
Selain itu, salah satu faktor yang membuat ongkos politik semakin mahal adalah tingginya biaya kandidasi, yakni seluruh biaya yang harus dikeluarkan bakal calon sejak tahap pencalonan. Biaya ini mencakup konsolidasi dukungan politik sejak dini, mulai dari mahar politik kepada partai, pembiayaan survei elektabilitas, hingga belanja komunikasi dan jaringan politik.
"Karena tidak seluruh biaya tersebut diatur dalam skema dana kampanye resmi, praktik pendanaan kandidasi sering berlangsung tanpa transparansi dan memperbesar ketergantungan calon pada pemodal tertentu," tuturnya.
Dengan demikian, tingginya ongkos pilkada bukanlah disebabkan mekanisme pemilihan secara langsung, melainkan proses pencalonan yang transaksional dan tidak akuntabel.
Menyelesaikan persoalan tersebut dengan menghapus pilkada langsung dianggap sebagai langkah keliru dan tidak menyentuh akar masalah. Bila logika ini dipakai secara konsisten, maka pemilu-pemilu lain pun berpotensi dihapus hanya karena tingginya praktik politik uang.
Padahal, kata dia, pilkada langsung merupakan capaian penting dalam konsolidasi demokrasi Indonesia pasca reformasi, yang memperluas ruang akuntabilitas, membuka partisipasi publik, dan mendorong kompetisi yang lebih terbuka.