Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251007-WA0013.jpg
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan yang mempermasalahkan PSN dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Pola permasalahan yang muncul selalu berulang, termasuk penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, dan perusakan lingkungan hidup.

  • Terjadi dugaan pelanggaran HAM di PSN di Wadas, Rempang, Mandalika, hingga Papua dengan pola yang mirip dan minim konsultasi bermakna.

  • Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komisioner Pemantauan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Saurlin Siagian mengungkap maraknya aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM di berbagai daerah yang menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Komnas HAM mencatat dalam kurun waktu tiga tahun terdapat 114 laporan dari masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Saurlin saat memberikan keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempermasalahkan PSN dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Perkara uji materiil yang teregister dengan nomor 112/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya.

"Kami juga ingin menyampaikan sedikit situasi di Komnas HAM bahwa, terdapat setidaknya 114 pengaduan terkait PSN hanya dalam tempo 3 tahun terakhir yang mengandung dugaan pelanggaran hak asasi manusia," kata dia di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

1. Pola permasalahan yang muncul selalu berulang

Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (Geram PSN) sebagai Pemohon di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Saurlin mengatakan, pola dugaan pelanggaran HAM yang terjadi selalu berulang. Di mana ada upaya penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, dan perusakan lingkungan hidup.

"Pola permasalahan yang muncul selalu berulang, ada penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, dan degradasi lingkungan hidup," tuturnya.

2. Terjadi di Wadas, Rempang, hingga Papua

Seruan penolakan PSN Eco City oleh masyarakat Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Ia menjelaskan kasus dugaan pelanggaran yang terjadi akibat PSN milik pemerintah, seperti di Wadas, Rempang, Mandalika, hinggga Papua. Di semua PSN tersebut pola pelanggaran HAM yang diadukan juga mirip. Komnas HAM menyebut, di daerah itu PSN dibuat secara sepihak, minim konsultasi bermakna, dan mengerahkan aparat keamanan yang berlebihan. Sehingga memicu konflik dengan masyarakat setempat.

"Contoh konkrit kami sampaikan, ada kasus Wadas, kasus Rempang, kasus Mandalika, pembukaan food estate di Papua, dan kawasan industri Morowali, antara lain di antara 114 yang diadukan Komnas HAM, yang semuanya menunjukkan pola kemiripan di mana keputusan diambil secara top-down, minim konsultasi bermakna, dan pengamanan yang berlebihan yang memicu konflik," tuturnya.

"Kami juga menemukan dalam kasus-kasus yang datang ke Komnas HAM, pengabaian prosedur konsultasi yang substantif terjadi, kemudian instrumen Amdal hanya menjadi dokumentasi administratif, aparat diberi peran berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat, dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga," lanjut Siagian.

3. Permohonan yang diajukan Pemohon terkait PSN

Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (Geram PSN) sebagai Pemohon di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebagai informasi, materi yang diujikan dalam perkara ini ihwal pengaturan “kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN)” dan/atau frasa “PSN” dalam Ketentuan Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 Ayat (2) dan Ayat (4); Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1; Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 17 angka 18 Lampiran UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para Pemohon, berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara. Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret. Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.

Selain itu, sejumlah pasal lain dalam UU Cipta Kerja juga turut dipersoalkan, seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2). Ketentuan tersebut dianggap membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.

Dengan demikian, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka berharap, melalui permohonan ini, Mahkamah dapat memastikan akuntabilitas penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang kewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara.

Editorial Team