Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-26 at 17.38.57.jpeg
Komisioner Komnas Perempuan Daden Sukendar dalam Diskusi Publik bertajuk “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya sih...

  • Perempuan korban penyiksaan, berhadapan dengan sistem hukum dan sosial yang tak responsif

  • Ada 13 penyiksaan seksual pada perempuan dalam CATAHU 2024

  • Pekan Anti Penyiksaan bertema Indonesia tanpa Penyiksaan: No justice in pain

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menegaskan praktik penyiksaan masih terjadi di berbagai konteks di Indonesia, meski negara telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).

Alhasil, peringatan Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan tahun ini menjadi momen reflektif dan seruan keras bagi negara agar memenuhi kewajibannya mencegah, menghapus, dan memulihkan korban penyiksaan.

Komisioner Komnas Perempuan Daden Sukendar, yang mewakili Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, mengingatkan penyiksaan merupakan kejahatan keji yang tak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun.

“Indonesia, sebagai negara pihak Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, memiliki kewajiban mencegah serta tidak mentolerir praktik penyiksaan. Negara juga berkewajiban memastikan para korban penyiksaan memperoleh keadilan dan pemulihan atas penderitaan yang mereka alami," kata dia dalam Diskusi Publik bertajuk “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” di kantor Komnas, Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

1. Perempuan korban penyiksaan, berhadapan dengan sistem hukum dan sosial yang tak responsif

Diskusi Publik bertajuk “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Daden menjelaskan, penyiksaan justru masih terjadi di lembaga penegak hukum, pemasyarakatan, hingga panti-panti sosial dan asuhan, bahkan kerap menimpa kelompok rentan.

“Ironisnya, dalam banyak kasus, bentuk-bentuk penyiksaan terhadap kelompok rentan khususnya perempuan dan anak perempuan, penyandang disabilitas, lansia, serta minoritas gender dan seksual sering kali luput dari perhatian," kata dia.

Perempuan korban penyiksaan, juga berhadapan dengan sistem hukum dan sosial yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan mereka.

2. Ada 13 penyiksaan seksual pada perempuan dalam CATAHU 2024

Diskusi Publik bertajuk “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas Perempuan mencatat, ada setidaknya 13 kasus penyiksaan seksual terhadap perempuan dalam CATAHU 2024. Daden menyoroti kasus kekerasan tersebut yang terjadi di tahanan hingga panti sosial terhadap perempuan penyandang disabilitas.

Bentuknya mencakup penahanan sewenang-wenang, pemasungan, kekerasan fisik maupun psikis, hingga kekerasan seksual. Maka masih banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan Indonesia bebas dari penyiksaan.

3. Pekan Anti Penyiksaan bertema Indonesia tanpa Penyiksaan: No justice in pain

AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)

Dalam memperingati Hari Anti Penyiksaan 2025, Komnas Perempuan bersama KuPP dan sejumlah elemen masyarakat menggelar Pekan Anti Penyiksaan bertema Indonesia Tanpa Penyiksaan dengan tagline No Justice in Pain.

"Artinya, kita menolak bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga menentang segala bentuk kekerasan seksual, kontrol atas tubuh (terutama tubuh perempuan), serta segala upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujar diam

Dia menegaskan pentingnya mempercepat ratifikasi OPCAT dan menyampaikan harapan agar dari forum ini lahir komitmen dan rekomendasi konkret.

Editorial Team