Ilustrasi korupsi. (IDN Times/Arief Rahmat)
Nominasi yang membuat nama Jokowi "mendunia" ini langsung mendapat berbagai tanggapan dari sejumlah pihak. Banyak yang bela, tak sedikit pula mencibir.
Barisan relawan setia pendukung Jokowi, Projo menganggap OCCRP keliru. Sekretaris Jenderal Relawan Projo, Handoko berdalih, selama satu dekade Jokowi memimpin Indonesia, rakyat merasakan hasil kepemimpinan mantan Wali Kota Solo itu.
"Yang mengetahui dan merasakan adalah rakyat Indonesia. Tolak ukurnya jelas, antara lain hasil pembangunan, penegakan hukum, budaya politik baru, dan harapan," ujar Handoko ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (1/1/2025).
Alasan kuatnya, kata dia, hingga penghujung kepemimpinan Jokowi, penerimaan masyarakat diklaim sangat positif terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Tingkat kepercayaan publik diklaim mencapai 80 persen.
Selama memimpin pun, kata Handoko, Jokowi memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Ada beberapa menteri era kepemimpin Jokowi yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menteri itu termasuk yang berasal dari PDI Perjuangan (PDIP). Projo pun mempersilakan Jokowi diproses secara hukum jika memang terbukti terlibat korupsi.
Senada, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga ikut pasang badan bela Jokowi. Partai dengan lambang mawar merah itu dipimpin Kaesang Pangarep yang notabene putra bungsu Jokowi.
Wakil Ketua Umum PSI, Andy Budiman mengatakan, nominasi dari OCCRP mencerminkan suara dari kelompok barisan sakit hati. Ia pun mengungkit mengenai masih banyak pihak yang belum bisa menerima hasil Pilpres 2024.
"Itu suara dari kelompok barisan sakit hati. Mereka yang belum bisa move on dari kekalahan di Pilpres. Ada jejak digital OCCRP membuka ke publik untuk menominasikamn Corrupt Person of The Year sampai 5 Desember 2024 lalu. Jadi, ada polling. Nah, barisan sakit hati itu yang memobilisasi suara," ujar Andy.
Ia menyebut, publikasi tersebut tak bisa dipertanggung jawabkan metodologinya. Hasil publikasi OCCRP berbeda dari hasil survei yang hasilnya bisa dilakukan dari pengambilan sampel.
"Survei ilmiah dengan pengambilan sampel dilakukan dengan sangat cermat untuk menghindari bias," tutur dia.
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mendorong aparat penegak hukum menindaklanjuti temuan OCCPR.
"Menurut saya, temuan dari organisasi jurnalis investigasi ini bagus untuk ditindaklanjuti, baik oleh jurnalis di Tanah Air maupun oleh para penegak hukum di negara kita. Kalau banyak pihak mengatakan temuan itu salah, silakan buktikan. Jadi follow up ini yang sebenarnya diperlukan," ujar Bivitri ketika dikonfirmasi, Rabu (1/1/2025).
Bivitri mengatakan tuduhan Jokowi berbuat rasuah dan melanggar sederet aturan sudah banyak terpampang di ruang publik. Bahkan, ada Mahkamah Rakyat yang pada Juni 2024 menyatakan mantan Wali Kota Solo itu terbukti melanggar sumpahnya sebagai Presiden.
"Demonstrasi yang mendemo Jokowi juga banyak sekali. Begitu juga pernyataan dari sejumlah guru besar. Jadi ini yang harus dilihat dalam kacamata yang lebih luas," tutur dia.
Bivitri menambahkan, masuknya Jokowi ke daftar nominasi pemimpin paling korup versi OCCRP menyerupai kejadian mantan Presiden Soeharto ketika dijadikan sampul Majalah Time pada 1999. Ketika itu, Majalah Time menurunkan hasil investigasinya dan memberikan judul Soeharto Inc.
Majalah asal Amerika Serikat (AS) itu menulis kekayaan keluarga Soeharto diperkirakan mencapai 15 miliar dolar AS dalam berbagai bentuk di seluruh dunia. Ketika itu, poin yang paling menghebohkan yakni adanya dugaan transfer 9 miliar dolar AS dari Indonesia ke sebuah bank di Swiss. Lalu, uang itu diduga ditransfer kembali ke Austria. Menurut Bivitri, hasil laporan jurnalistik itu tidak bisa diposisikan menggunakan tindak pidana di dalam hukum.
"Tidak tepat untuk meletakan sebuah produk jurnalisme investigatif dengan kerangka hukum pidana. Dalam kasus publikasi Soeharto di Majalah Time tahun 1999, kan sampai sekarang memang tidak pernah ada bukti di pengadilan ada tindak pidana korupsinya. Kita harus pahami bahwa kerja-kerja jurnalisme harus melaporkan hal-hal yang tidak bisa diusut menggunakan sistem hukum yang sudah korup," katanya.
Oleh sebab itu, hasil dari jurnalisme investigasi, biasanya akan dijadikan pegangan bagi masyarakat sipil. Ia pun tidak meragukan kredibilitas OCCRP yang menempatkan Jokowi masuk daftar pemimpin yang paling korup. Sebab, di situs resmi OCCRP, latar belakang para juri yang menentukan nama-nama di dalam daftar tersebut adalah jurnalis investigasi.
"Bahkan, kita juga bisa melacak seterang-terangnya apa saja kerja-kerja organisasi mereka hingga siapa peyandang dananya," tutur Bivitri.