Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
GERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Jakarta, IDN Times - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2021 terdapat 207 konflik agraria di 32 provinsi. Selama masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tercatat ada 2.498 konflik agraria dan lahan, serta yang terdampak menjadi 198.859 keluarga.

Laporan ini menunjukkan konflik menyasar lokasi padat penduduk dan kampung-kampung serta wilayah adat.

"Konflik agraria adalah permasalahan struktural, dari presiden, menteri, dan walikota serta pihak-pihak yang terlibat ini bertanggung jawab," ujar Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam forum Solidaritas Nasional untuk Rempang, di Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa, 12 September 2023.

"Apapun alasan yang dikeluarkan pemerintah, menggusur masyarakat Rempang secara paksa itu pelanggaran hukum," sambungnya.

1. Perempuan alami beban ganda dalam hadapi konflik perampasan tanah, berjuang dan mengurus keluarga

Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Dewi menjelaskan, penyebab konflik agraria tertinggi menurut data KPA dalam 10 tahun terakhir, disebabkan sektor perkebunan. 

"Kalau kita buka data konflik agraria itu akan terlihat bentuk-bentuk perampasan tanah dalam skala besar, yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi. Seolah-olah hukum melegitimasi pemerintah dalam merampas tanah rakyat," kata dia.

"Saya menyoroti perempuan, sering kali mereka mengalami beban ganda ketika ada konflik. Perempuan tak hanya turun langsung untuk berjuang, tetapi harus menjadi kuat untuk keluarga mereka," sambung Dewi.

2. Pembebasan lahan dengan intimidasi sebabkan perempuan dan anak-anak trauma

Editorial Team

Tonton lebih seru di