Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi unjuk rasa (dok. Humas Polri
Ilustrasi unjuk rasa (dok. Humas Polri)

Intinya sih...

  • Kapolres mengendalikan taktis jika massa kurang tertib

  • Brimob baru turun jika rusuh berat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menampilkan peragaan lengkap konsep pelayanan demo atau unjuk rasa dalam rangka Apel Kasatwil Tahun 2025 di Cikeas, Bogor, Jawa Barat.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk kesiapan operasional dan penyegaran SOP dalam pengendalian massa yang lebih humanis, modern, dan berbasis hak asasi manusia.

Peragaan yang dilakukan oleh Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri tersebut memperlihatkan secara utuh lima tingkatan eskalasi unjuk rasa, mulai dari situasi tertib hingga eskalasi rusuh berat.

Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri, Brigjen Pol Moh Ngajib, menjelaskan, model pelayanan unjuk rasa ini merupakan penyempurnaan dari pola lama, dengan menekankan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan sesuai Perkap Nomor 1 Tahun 2009 serta standar HAM dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009.

“Peragaan ini bukan sekadar simulasi, tetapi penegasan bahwa setiap tindakan kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa harus sesuai prosedur, terukur, dan menghormati hak-hak warga. Itulah standar pelayanan yang wajib diterapkan di seluruh satuan wilayah,” ujar Ngajib dalam keterangannya, Kamis (27/11/2025).

1. Kapolres mengendalikan taktis jika massa kurang tertib

Ilustrasi unjuk rasa (dok. Humas Polri)

Dalam kegiatan tersebut, Polri memeragakan tata cara pelayanan unjuk rasa berdasarkan lima tingkat eskalasi. Pertama, pada kriteria tertib, yakni massa patuh imbauan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan lancar.

Petugas menerapkan kehadiran polisi sebagai tindakan pencegahan (deterrent) serta imbauan lisan.

Kriteria kurang tertib, massa mulai mengejek, provokasi ringan, dan tidak mengindahkan imbauan. Petugas menerapkan kendali tangan kosong lunak dan negosiasi oleh Kapolres sebagai pengendali taktis.

2. Brimob baru turun jika rusuh berat

Ilustrasi unjuk rasa (dok. Humas Polri)

Kriteria tidak tertib, massa mulai melempar, melakukan pembakaran lokal, atau gangguan yang menyebabkan luka ringan. Petugas melakukan kendali tangan kosong keras dan pendorongan dengan meriam air (AWC).

Kemudian kriteria rusuh, massa melakukan kekerasan, perusakan, serangan fisik, dan penutupan jalan secara masif. Petugas menerapkan penggunaan senjata tumpul, gas air mata, atau alat nonmematikan sesuai standar.

Terakhir, kriteria rusuh berat, situasi meningkat hingga memerlukan lintas ganti ke satuan Brimob atau penanganan oleh tim Raimas jika tidak tersedia PHH Brimob.

Menurut Brigjen Ngajib, penyederhanaan prosedur dari 38 tahap menjadi lima fase membuat pola pelayanan lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh petugas, tetapi tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

“Kita ingin seluruh Kasatwil memahami bahwa respons kepolisian tidak boleh reaktif. Ia harus melalui tahapan yang jelas, dengan evaluasi pada setiap tindakan. Inilah bentuk modernisasi pengendalian massa yang akuntabel,” ujar dia.

3. Pengamanan aksi melibatkan berbagai fungsi kepolisian

Ilustrasi unjuk rasa (dok. Humas Polri)

Peragaan tersebut memperlihatkan keterlibatan terpadu berbagai fungsi kepolisian, seperti Sabhara sebagai Dalmas awal, Propam sebagai pengawas tindakan dan kepatuhan prosedur.

Kemudian, Lalu Lintas untuk pengaturan arus, Reskrim dalam identifikasi provokator dan pelaku pidana, Intelkam untuk penggalangan massa, Humas melakukan dokumentasi dan publikasi, K-9 untuk sterilitas area, serta tim negosiator bersertifikasi untuk meredam eskalasi.

Teknologi baru juga ditampilkan, seperti helm Dalmas dengan konektor suara yang memungkinkan instruksi didengar hingga radius 2 km, serta penggunaan drone dalam pengambilan keputusan taktis.

Brigjen Ngajib menegaskan, tujuan utama peragaan ini adalah menyamakan persepsi seluruh Kasatwil dalam memberikan pelayanan unjuk rasa yang humanis tapi tetap tegas.

“Pelayanan unjuk rasa bukan sekadar pengamanan, tetapi pelayanan publik. Kita wajib memastikan massa dapat menyampaikan aspirasi dengan aman, dan negara tetap hadir menjaga ketertiban umum secara proporsional,” ujar Dirsamapta.

Dia mengatakan, kemampuan komunikasi, negosiasi, dan penguasaan lapangan menjadi kunci sukses aparat era sekarang.

“Kapolres harus dikenal oleh masyarakatnya. Semakin baik hubungan polisi dengan warga, semakin kecil potensi eskalasi unjuk rasa meningkat,” kata Ngajib.

Editorial Team