Suasana Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (16/7/2020) (Dok. IDN Times/Tangkap Layar TV Parlemen)
Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al-Habsyi dalam rapat paripurna ke-17 masa persidangan IV tahun sidang 2019-2020 pada Kamis 18 Juli lalu sempat menjadi sorotan. Ia menginterupsi agar Rancangan RUU HIP segera dibatalkan.
“Pemerintah sudah menyatakan menunda pembahasan RUU ini, saya bangga dan saya bahagia, tentunya kita harus bijak menyikapi ini. Alangkah lebih baik batalkan saja RUU ini, kita sampaikan ke publik rancangan ini akan di-drop, tentu akan membuat masyarakat adem, tenang, nyaman, dan aman,” kata Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR itu.
Aboe Bakar menjelaskan, RUU HIP semestinya sudah dibatalkan, karena memunculkan problematika. Bukan hanya sekadar perdebatan, tetapi juga sudah terjadi penolakan.
“Jika masyarakat mayoritas sudah melakukan penoalakan, jika MUI (Majelis Ulama Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Persis (Persatuan Islam), lembaga pemuda menolak, veteran TNI menolak. Artinya suara publik sudah muncul semuanya, lantas kita mau apa? Jangan sampai publik melihat kita di sini tak mewakili suara mereka,” ujar dia.
Mendengar interupsi tersebut, PDIP selaku pengusul RUU HIP pun merespons. Anggota Fraksi PDIP Aria Bima mengaku heran dan menganggap lucu pendapat Aboe Bakar yang baru disampaikan dalam rapat paripurna soal penolakan RUU HIP.
Mestinya, menurut Ketua Komisi Vl itu, PKS sejak awal menolak tanpa memberikan catatan hingga akhirnya menjadi RUU inisiatif DPR. “Setahu saya dibawa ke rapur (rapat paripurna) yang semuanya juga sudah memberikan dukungan, termasuk fraksi Pak Aboe dengan catatannya,” kata Aria.
“Ini kan lucu, dari proses di Baleg pandangan dari masing-masing poksinya sudah memberikan pandangan setuju, dibawa ke rapur di rapur saya ikut hadir di sini juga tidak ada yang memberikan catatan,” sambung dia.
Aria menyayangkan sikap F-PKS yang seolah lepas tangan di hadapan publik, dan terkesan menyalahkan beberapa orang atau partai soal RUU HIP. Harusnya sejak awal PKS sudah menolak, sebelum draf RUU HIP diserahkan ke pemerintah.
“Jangan begitu kalau itu sudah inisiatif DPR, kalau toh akan kita anulir kita bahas kembali, saya mohon pada pimpinan untuk kembalikan kepada proses jalannya persidangan, bagaimana undang-undang perlu dimatangkan kembali, perlu dicermati lagi atau dibahas dengan mengundang semua yang keberatan dalam RDP (rapat dengar pendapat) oleh Panja (panitia kerja),” ujar dia.
Sementara, pada kesempatan lain, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memastikan tak ada ruang bagi ajaran komunis maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali hidup di bumi ibu pertiwi. Khusunya melalui RUU HIP yang sedang dibahas DPR RI.
Menurut politikus Partai Golkar itu, Indonesia masih memiliki Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, serta larangan setiap kegiatan untuk mengembangkan komunisme atau marxisme.
"Walau pun di dalamnya belum mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, bukan berarti menafikan keberadaan TAP tersebut. Baik TAP MPRS maupun RUU HIP, merupakan satu kesatuan hukum yang tak terpisahkan, sebagai pegangan bangsa Indonesia dalam menumbuhkembangkan ideologi Pancasila," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet, di Jakarta, Jumat 29 Mei 2020.
Bamsoet mengingatkan, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan dalam RUU HIP, organisasi terlarang ini dan ajaran komunismenya tak mungkin lagi dibangkitkan kembali, dengan cara apapun. Sidang Paripurna MPR RI Tahun 2003, MPR RI telah mengeluarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003, yang secara populer disebut dengan 'TAP Sapujagat'.
Disebut demikian, kata Bamsoet, karena TAP MPR Nomor I Tahun 2003 ini berisi Peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002. Dan setelah keluarnya TAP MPR No I Tahun 2003 ini, MPR sudah tidak lagi punya wewenang membuat TAP MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling).
Dari total 139 TAP MPRS/MPR yang pernah keluarkan, kata dia, semuanya dikelompokkan menjadi enam kategori dengan rincian sebagai berikut: Pertama, sebanyak delapan TAP MPR dinyatakan tidak berlaku. Kedua, tiga TAP dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu.
Ketiga, delapan TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu. Keempat, 11 TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Kelima, sebanyak lima TAP dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkan Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004.
Kelima, sebanyak 104 TAP MPR dinyatakan dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Oleh karena MPR saat ini sudah tidak lagi memiliki wewenang membuat ataupun mencabut TAP MPR, maka secara yuridis ketatanegaraan pelarangan PKI dan ajaran komunisme dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966 telah bersifat permanen.
“Jadi, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu masuk dalam kelompok kedua dan dinyatakan masih berlaku. Sehingga kita tak perlu khawatir PKI bakal bangkit lagi,’’ ujar Bamsoet.
Bamsoet juga menyebutkan, ada regulasi lain yang juga mengatur soal itu, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Undang-undang ini memuat larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme, dengan ancaman pidana penjara 12 tahun sampai 20 tahun penjara.
“Dengan demikian, tidak ada ruang bagi PKI untuk kembali bangkit kembali,” ujar Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menilai, luka bangsa Indonesia terhadap kekejaman PKI sulit dilupakan.
Begitu pun dengan ajaran komunisme yang tak sejalan dengan jati diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan, berkeadilan, dan berjiwa gotong-royong. Karena itu, kata dia, siapa pun yang mencoba membangkitkan ideologi komunisme di Indonesia, ibarat membangunkan mayat dari dalam kubur.
"Kita memahami jika ada pihak yang khawatir. Namun, tidak perlu khawatir. TNI/Polri, ormas keagamaan seperti NU, Muhamadiyah, dan lain-lain. Ormas kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, Kelompok Cipayung, dan lain-lain pasti akan bersatu menghadang bangkitnya partai maupun paham komunisme,” ujar Bamsoet.
Kendati, mantan Ketua DPR RI ini mengingatkkan, sebagai bangsa, Indonesia harus tetap waspada. Isu kebangkitan komunisme yang merebak pun perlu dicermati. Namun tidak perlu gelisah, apalagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tak senang melihat bangsa Indonesia hidup tenang.
"Karenanya sekali lagi, masyarakat tak perlu terlalu risau berlebihan terhadap isu kebangkitan komunisme. Aparat keamanan, umat Islam dan umat beragama lainnya, termasuk ormas-ormas yang menentang PKI selama ini seperti NU, Muhammadiah, Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lainnya pasti akan bersatu jika komunisme kembali bangkit. Kita perlu waspada, namun tidak perlu panik," kata Bamsoet.