Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250731-WA0161.jpg
LPSK (IDN Times/Aryodamar)

Intinya sih...

  • LPSK mencatat nilai restitusi korban tindak pidana mencapai Rp33,05 miliar per September 2025.

  • Optimalisasi PNBP dari sektor penegakan hukum menjadi penting untuk Dana Abadi Korban (DBK) sesuai PP 29/2025.

  • DBK memiliki dua sumber pembiayaan yaitu hibah dan APBN, namun belum cukup untuk menjamin pemulihan korban.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menghitung nilai restitusi yang diajukan oleh korban tindak pidana untuk mendapatkan pemulihan kerugian dari pelaku atau negara mencapai Rp33,05 miliar. Nilai itu dicatat LPSK dari awal tahun hingga September 2025.

Rinciannya, masuk tuntutan jaksa Rp9,28 miliar atau 28,1 persen; diputus hakim Rp7,17 miliar atau 21,7 persen; serta dibayar pelaku Rp3,22 miliar atau 9,7 persen.

"Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sistem restitusi yang murni bertumpu pada kemampuan pelaku belum mampu menjamin keadilan bagi korban," ujar Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin, dikutip pada Rabu (5/11/2025).

1. Banyak korban dapat restitusi, tetapi belum nikmati pemulihan

Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin (IDN Times/Aryodamar)

Wawan mengatakan, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor penegakan hukum menjadi hal penting.

Menurutnya, hal itu juga sesuai dengan konsep Dana Abadi Korban (DBK) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang ditujukan untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tindak pidana.

Menurutnya, banyak korban yang telah mendapatkan putusan restitusi berkekuatan hukum tetap, tetapi belum dapat menikmati pemulihan.

"Kehadiran negara melalui DBK bukan untuk mengambil alih kewajiban pelaku, melainkan menutup kekosongan agar korban tetap mendapatkan haknya atas pemulihan," ujarnya.

2. PP 29/2025 dasar hukum negara tanggung restitusi korban

Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin (IDN Times/Aryodamar)

Wawan mengatakan, PNBP dari denda pidana dan hasil penegakan hukum selama ini disetorkan seluruhnya ke kas negara. Menurutnya, sebagian dari penerimaan tersebut dapat dialokasikan untuk DBK agar pendanaan pemulihan korban tidak hanya bergantung pada hibah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hal itu juga sudah diatur dalam PP 29/2025 yang menjadi dasar hukum, negara bisa menanggung biaya restitusi yang tak dibayar pelaku.

"Perlu kami sampaikan bahwa di dalam PP tersebut, korban ini memiliki hak untuk dapat diberikan haknya dalam bentuk restitusi yang dibayarkan oleh pelaku," ujarnya.

Namun demikian, menurutnya, ketika LPSK menghitung, ganti kerugian yang kemudian disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum, dan kemudian pelaku ketika sudah disita hartanya, maupun dibekukan asetnya dan masih kurang, maka negara memiliki kewajiban untuk membayarkan restitusi kurang bayarnya dalam bentuk kompensasi.

3. Ada dua sumber DBK

Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin (IDN Times/Aryodamar)

Dalam PP tersebut, terdapat dua sumber pembiayaan DBK yakni hibah dan APBN. Dana hibah dalah bersumber dari masyarakat, filantropi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR), maupun sumber sah lainnya yang tidak mengikat, sedangkan alokasi APBN disalurkan melalui DIPA LPSK.

Namun, dua sumber tersebut belum cukup untuk menjamin keberlanjutan pemulihan korban. Dengan memanfaatkan potensi PNBP penegakan hukum, negara dapat memperkuat kemandirian fiskal DBK dan mendukung pembayaran restitusi kurang bayar bagi korban.

"Skema ini juga mencerminkan prinsip keadilan restoratif, di mana hasil penegakan hukum negara dikembalikan untuk kepentingan korban tindak pidana," ucapnya.

Editorial Team