Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda memimpin rapat paripurna, Selasa (14/1/2025). (IDN Times/Muhammad Nasir)
Sementara itu, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD untuk efisiensi biaya justru memunculkan sentimen yang sangat negatif. Dari 1.898 percakapan yang dianalisis, sebanyak 76,3 persen menunjukkan penolakan. Publik khawatir transparansi akan menjadi korban, dan politik transaksional di DPRD akan meningkat. Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana ini, dengan alasan efisiensi biaya.
“Tetapi demokrasi bukan sekadar soal efisiensi, ia adalah investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat. Solusi untuk perbaikan Pilkada justru tetap dengan pemilihan langsung oleh rakyat, tapi setiap partai dibolehkan mencalonkan kepala daerah,” ujar Adjie.
Menurut Adjie, menerapkan model tanpa ambang batas dalam Pilkada dapat membawa banyak manfaat yang nyata. Demokrasi lokal akan semakin kuat karena rakyat diberikan lebih banyak pilihan. Politik transaksional yang selama ini menjadi batu sandungan dapat dihindari.
Selain itu, kata Adjie, pemimpin baru dengan visi segar dapat muncul dan membawa perubahan yang relevan dengan kebutuhan lokal. Kompetisi menjadi lebih sehat, fokus pada kualitas kandidat, bukan pada kekuatan partai besar. Partisipasi rakyat juga meningkat, karena mereka merasa lebih terwakili dalam proses politik.
“Dan yang tidak kalah penting, sistem pemilu menjadi lebih seragam, menciptakan harmoni antara pilpres dan pilkada,” lanjutnya.