Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan seandainya pemilu 2024 ditunda justru bakal menimbulkan permasalahan hukum baru. Pernyataan itu disampaikan oleh Mahfud menanggapi putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA).
Salah satu isi putusan hakim PN Jakpus yaitu menyetop tahapan pemilu yang masih berlangsung dan mengulang kembali ke tahapan awal.
"Oke pemilu ndak jadi, terus caranya ini gimana dong kalau harus ditunda? Kan berarti UUD harus diubah," ungkap Mahfud di Manado dan dikutip dari kantor berita ANTARA pada Minggu (19/3/2023).
Menurut Mahfud, mengubah UUD memakan biaya politik, sosial, dan finansial yang jauh lebih besar ketimbang menunda pemilu itu sendiri. Ia menambahkan proses pengubahan isi UUD juga tak mudah dilakukan. Justru, kata Mahfud, penundaan pemilu membuat situasi politik di Tanah Air yang tidak pasti.
"Jadi, tanggal 20 Oktober 2024 (masa jabatan presiden habis). Terus, karena ada keputusan Mahkamah Agung atau pengadilan, pemilu ditunda. Maka, harus mengubah UUD karena MPR atau DPR tidak bisa membuat undang-undang untuk mengubah jadwal pemilu (yang dihelat tiap lima tahun sekali)," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Aturan bahwa pemilu digelar tiap lima tahun sekali tertuang di dalam UUD 1945 pasal 7. Mahfud menambahkan bahwa jadwal pemilu adalah muatan konstitusi. Pihak yang dapat mengubahnya hanya pembuat konstitusi.
"Pembuat konstitusi bila asumsinya adalah partai politik yang ada di DPR atau MPR, maka sidangnya harus 2/3 dari anggota MPR agar tercapai kuorum," katanya.
Dalam pandangan Mahfud, mungkin kah jadwal pemilu 2024 ditunda?