ilustrasi pilkada (IDN Times)
Usulan alternatif ketiga, kepala daerah selesai masa jabatannya di tahun 2029. Kemudian dilanjutkan oleh Pj dan jabatan DPRD diperpanjang. Namun Mahfud tak memungkiri mekanisme ini bisa menimbulkan kegaduhan.
"Bisa juga ketiga, kepala daerahnya yang diperpanjang dengan penjabat. DPRD diperpanjang dengan undang-undang tanpa pemilu sela. Tapi ini juga akan ribut," tuturnya.
Alternatif keempat, pilkada dan pileg tetap digelar 2029. Namun dilaksanakan kembali pilkada dan pileg sela pada 2031.
"Lalu yang keempat, pemilu sela untuk DPRD dan kepala daerah sekaligus untuk periode peralihan," tuturnya.
Usulan terakhir yang paling ekstrem, pilkada tidak langsung, yakni dipilih melalui DPRD. Namun, Mahfud tidak menganjurkan alternatif ini
"Ada yang ekstrem. Kelima. Yang ekstrem itu kembali ke Pilkada oleh DPRD, karena itu dimungkinkan. Kenapa saya katakan bisa kembali ke DPRD? Pemilu itu ada dua rezim. Satu rezim pasal 22D UUD bahwa pemilu itu hanya untuk DPR, DPD, presiden, wakil presiden dan DPRD. Itu yang disebut Pemilu menurut pasal tentang Pemilu. Pilkada enggak masuk di situ," tutur Mahfud.
"Terus rezim pasal 18 UUD itu tentang Pilkada. Yang pasalnya dibedakan dengan pemilu, sehingga mereka memutuskan Pilkada itu boleh langsung, boleh lewat DPRD, boleh tidak langsung. Tapi oleh karena pemerintah dan DPR memilih langsung, maka kembali ke rezim sana tadi," imbuh dia.
Adapun, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara 135/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan. Pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Dampak Putusan MK inilah yang menuai kontroversi, karena memungkinkan adanya kekosongan jabatan bagi kepala daerah, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Hingga saat ini, DPR dan pemerintah belum merevisi UU Pemilu, sehingga bagaimana mekanisme mengisi kekosongan jabatan di daerah tersebut belum ditentukan.