Jakarta, IDN Times - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengucapkan selamat kepada pemerintah karena akhirnya bersedia membuat Singapura meneken perjanjian ekstradisi. Kesepakatan ini digadang-gadang menyebabkan WNI yang melakukan tindak kejahatan dan bersembunyi di Negeri Singa akan berpikir dua kali.
Salah satu yang ingin ditarget pemerintah adalah buronan kasus korupsi. Mereka selama ini memilih kabur ke Singapura lantaran di antara kedua negara belum ada perjanjian ekstradisi yang efektif.
Namun, Boyamin meningatkan agar kesepakatan itu tidak berakhir di atas kertas semata dan tidak disahkan di parlemen. Sebab, tanpa pengesahan dari parlemen, maka sulit bagi pemerintah meminta Singapura memenuhi kewajibannya menyerahkan buronan yang ada di sana.
"Untuk itu saya meminta ada proyek percontohan untuk tahun ini dengan cara ada pemulangan orang-orang yang buron di Singapura ke Indonesia. Gak tahu siapa, saya gak mau nyebut karena ada beberapa nama," ungkap Boyamin di dalam keterangan video pada Selasa, 25 Januari 2022 lalu.
Beberapa tersangka kasus korupsi yang berada di Negeri Singa antara lain pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dua tersangka yang namanya sempat santer disorot adalah Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Boyamin juga menyebut yang membutuhkan perjanjian ini, nantinya tidak hanya Indonesia. Singapura pun akan ikut membutuhkan kesepakatan ekstradisi.
"Pasti kejahatan-kejahatan ekonomi ini akan mendominasi karena semakin majunya sistem teknologi informasi (TI) sehingga masing-masing butuh untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ekonomi, khususnya korupsi maupun pencucian uang. Keduanya kan juga saling merugikan," kata dia lagi.
Perjanjian ekstradisi ini sesungguhnya sudah pernah diteken pada 2007 lalu di Bali. Kesepakatan itu disaksikan oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tetapi, perjanjian ekstradisi itu batal disahkan di DPR karena belakangan terungkap Singapura ingin menggandengkan kesepakatan di bidang hukum tersebut dengan perjanjian pertahanan (DCA).
DPR ketika itu menolak mengesahkan perjanjian ekstradisi dan pertahanan lantaran, di dalam poin klausulnya terungkap Singapura meminta wilayah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai area untuk berlatih perang. Lalu, mengapa Pemerintah Indonesia kembali menandatangani perjanjian serupa?