Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mardani Ali Sera (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Mardani Ali Sera (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Sistem pemilu RI terlalu kolosal, aturan ketinggalan zaman

  • UU Pemilu tidak mendetailkan perkara penting, perlu revisi

  • Revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang dan pengerjaan cepat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menilai, Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) perlu segera dibahas. Namun pembahasan itu harus melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Menurutnya, jika Revisi UU Pemilu terus ditunda, justru akan membuat pembahasannya tidak matang karena dirancang dalam waktu mepet dan terburu-buru. Ia mengatakan, kegiatan yang dilakukan secara buru-buru adalah perbuatan setan. Oleh sebab itu, penundaan pembahasan Revisi UU Pemilu sama saja dengan mengundang setan.

"Buat saya, sesudah kedaulatan dengan rakyat segerakan revisi undang-undang pemilu. Dan saya mendukung, ayo kasih masukan. Kalau takut publicly, privately kirim ke saya masukkannya, teman-teman, banyak sekali teman-teman Komisi II DPR bagus-bagus kok," kata dia dalam acara diskusi yang diselenggarakan DKPP, Rabu (13/8/2025).

"Kami sendiri ketemu dengan beberapa civil society, organisasi, ayo mulai ngumpulin. Karena lagi-lagi, kalau hadis nabi itu begini, terburu-buru itu sifatnya setan. Jadi kalau kita menunda-nunda pembahasan RUU pemilu, ngundang setan untuk masuk. Kalau saya gitu, karena nanti terburu-buru jadinya," sambungnya.

1. Sistem pemilu RI terlalu kolosal

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera (IDN Times/Amir Faisol)

Dalam kesempatan itu, Mardani Ali Sera menegaskan UU Pemilu perlu segera direvisi karena aturannya sudah ketinggalan zaman. Akibat aturan yang kurang efektif itu, maka gelaran tahapan pemilu harus melibatkan banyak orang.

Ia menambahkan, perencanaan yang kurang matang bisa membuat proses pesta demokrasi ustru berbahaya. Ia mencontohkan Pemilu 2019, terdapat ratusan petugas pemilu akibat kelelahan.

"Pemilu kita itu kolosal sekali, hampir 10 juta orang ya, KPPS kita berapa, yang hari H itu. Belum di kelurahan, kecamatan, belum teman-teman TNI-Polri, binmas segala macam. Itu ketika kolosal seperti itu kalau tidak ada perencanaan yang matang berbahaya. Saya cukup sedih tahun 2019 lebih dari 900 pejuang demokrasi kita gugur," ucap Mardani.

2. UU Pemilu tidak mendetailkan perkara penting

Ilustrasi pemilu/kampanye (IDN Times/Agung Sedana)

Politisi PKS itu menilai, buruknya penyelenggaraan pemilu seperti pada 2019, karena aturan UU Pemilu yang tidak mendetailkan perkara penting.

"Dan salah satu sebabnya padangan saya karena desain pemiliknya tidak mendetailkan perkara-perkara penting," tutur Mardani.

Mardani pun memberikan contoh, apabila saat tahapan pemilu ada satu dokumen yang perlu dikoreksi, maka perlu melibatkan banyak pihak. Hal itu terjadi karena tidak efektif dan efisiennya struktur dalam UU Pemilu.

"Misal tiba-tiba ada satu dokumen, satu dokumen itu kelihatannya satu tapi itu harus dikasih ke partainya banyak, calegnya banyak, pusat, provinsi, kabupaten/kota. (Bisa) tewas orang itu kalau ngerjain satu tambah dokumen," ucap dia.

3. Revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Agung Sedana)

Mardani menilai, revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang dan pengerjaan cepat. Oleh sebab itu, ia berharap pembahasan ini dilakukan oleh Komisi II DPR RI.

"Rumus yang benar itu, (revisi UU Pemilu) lama dalam perencanaan dan cepat dalam pengerjaan," ungkap dia.

"Kaitannya UU pemilu, kalau UU pemilu kelambatan, dibahasnya cuma dua sampai tiga hari. Enggaklah, enggak dua sampai tiga hari, kalau baleg itu dua sampai tiga hari. Kalau saya pendukung UU Pemilu kasih ke Komisi II," sambung Mardani.

Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Pemilu harus secara hati-hati dan inklusif. Dia menyampaikan hal itu dalam Workshop Publik Nasional Menuju Pemilu yang Adil dan Representatif di Hotel Unhas, Selasa (29/7/2025).

Menurut Bima Arya, proses revisi harus membuka ruang bagi berbagai pandangan. Hal ini agar keputusan yang diambil tidak keliru di tengah fase krusial demokrasi nasional.

"Proses revisi Undang-undang Pemilu, ini sangat baik sekali apabila berproses secara inklusif dengan menyerap semua masukan," ucapnya.

Bima Arya menilai revisi Undang-Undang Pemilu merupakan proses krusial yang membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Dia menggarisbawahi pentingnya membuka ruang partisipasi yang luas untuk menjaring berbagai masukan dari akademisi, komunitas, hingga mahasiswa.

"Kita perlu perspektif yang kaya, karena jangan sampai kita salah ambil keputusan di fase yang sangat krusial bangsa ini," katanya.

Bima Arya menilai sistem kepemiluan Indonesia memerlukan kepastian arah dan konsistensi jangka panjang. Bima menyoroti isu tentang format pemilu serentak atau terpisah yang kerap berubah-ubah dalam wacana politik nasional.

"Sistem harus ajek (tetap). Nggak masalah juga kita sepakatnya ada perubahan. Tapi jangan sampai nanti empat tahun lagi berubah lagi," jelas dia.

Editorial Team