Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dilema Putusan MK 135/2024, Pembahasan RUU Pemilu Mandek di Senayan

IMG-20250724-WA0013.jpg
DPR menggelar rapat paripurna jelang masa reses. (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • DPR didesak segera revisi UU pemilu
  • Putusan MK 135/2024 memunculkan gugatan baru karena dinilai mengaburkan amanat konstitusi.
  • Revisi UU Pemilu menjadi keniscayaan karena beberapa bagian dari UU tersebut sudah tidak relevan dan ada sebagian yang dibatalkan MK.
  • DPR dan pemerintah diminta berbesar hati menerima Putusan MK 135/2024
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan 135/2024 yang langsung menggemparkan ruang politik nasional. Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025) itu, mahkamah memerintahkan pemilu nasional dan lokal tak lagi digelar secara serentak.

Keputusan ini sontak memunculkan reaksi di parlemen. DPR merasa keputusan MK tersebut telah melampaui tugasnya sebagai pembuat undang-undang, karena menghasilkan norma baru terhadap sistem pemilu di Republik ini.

Kontroversi muncul di kalangan elite politik di parlemen dan partai politik. Mayoritas partai politik menolak pemisahan pemilu nasional dan lokal karena dinilai inkonstitusional—menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang secara eksplisit mengamanatkan pemilihan umum harus digelar lima tahun sekali.

Ketua DPR Puan Maharani secara tegas menyatakan, pemisahan pemilu nasional dan lokal menentang konstitusi.

"Kita semua mendiskusikan bahwa, ya, apa yang menjadi keputusan MK sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar karena memang sesuai dengan undang-undang, pemilu adalah 5 tahun sekali," kata Puan Maharani, Selasa, 15 Juli 2025 lalu.

1. DPR didesak segera revisi UU Pemilu

Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)
Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)

Pakar Hukum Tata Negara, Titi Anggraini, mendesak DPR segera menindaklanjuti Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu melalui pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu.

Ia menilai, pembaruan Undang-Undang Pemilu sudah mendesak karena UU Nomor 7 Tahun 2017 belum pernah diubah sejak Pemilu 2019. Padahal, beberapa bagian dari UU tersebut sudah tidak relevan dan ada sebagian yang dibatalkan MK.

Hal tersebut disampaikan Titi Anggraini dalam diskusi virtual Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN UI), pada Minggu 27 Juli 2025 lalu.

“Ketika kita bicara pemilu DPRD pascaputusan MK 135 tentang pemisahan pemilu, yang pertama ya tentu saja harus segerakan pembahasan RUU Pemilu. Karena putusan MK itu bukan obat bagi semua persoalan pemilu kita," kata Titi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, semakin pembahasan RUU Pemilu diundur-undur, akan semakin banyak pihak-pihak yang pergi ke MK untuk menggugat putusan MK 135/2024. Benar saja, belum genap dua bulan, putusan MK 135/2024 kini digugat.

Gugatan pertama diajukan Brahma Aryana, Aruna Sa’yin Afifa, dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah yang terdaftar dengan Nomor Perkara 124/PUU-XXIII/2025. Gugatan lainnya diajukan Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, dan Yuseva dengan Nomor Perkara 126/PUU-XXIII/2025. Hal ini menjadi respons dari putusan MK karena dinilai mengaburkan amanat konstitusi.

Sejak awal, Titi sudah mewanti-wanti parlemen di Senayan bahwa putusan MK 135/2024 bukan solusi tunggal untuk memperbaiki kompleksitas pemilu di Indonesia.

“Saya juga seringkali menyebut semakin lama RUU Pemilu dibahas sebagai respons atas putusan MK, orang akan semakin semangat ke Mahkamah Konstitusi, karena mereka merasa tidak tersalurkan aspirasi hukum dan politiknya untuk mendapatkan pengaturan, yang mereka anggap sebagai pengaturan yang konstitusional,” kata dia.

Setidaknya, terdapat lima UU harus disesuaikan karena berimplikasi dengan Putusan MK 135/2024 yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, serta UU Pemerintahan Aceh.

“Maka ada sejumlah undang-undang yang ikut terdampak, yang memerlukan penyelarasan, penyesuaian dan juga penataan pasca-putusan MK 135 tentang pemisahan pemilu," ungkap Titi.

2. DPR dan pemerintah diminta berbesar hati

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie ketika berbincang di program Real Talk by Uni Lubis di studio IDN Times. (IDN Times/Athif Aiman)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie ketika berbincang di program Real Talk by Uni Lubis di studio IDN Times. (IDN Times/Athif Aiman)

Ketua MK periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, meminta agar partai politik di parlemen berbesar hati menerima Putusan MK Nomor 135/2024 yang memerintahkan pemilu nasional dan daerah dipisah. Ia mendorong para legislator menerima Putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu.

Jimly menyoroti berbagai penyangkalan terhadap Putusan MK 135/2024 oleh sejumlah pihak, terutama legislator di parlemen. Padahal, sebagai pejabat yang sudah disumpah, harusnya mereka bisa menjaga etika dengan tidak bicara negatif soal putusan pengadilan seperti Putusan MK.

Menurut dia, sejumlah partai bersatu untuk menyudutkan MK. Munculnya Putusan MK 135/2024 membuat parpol dan Presiden RI Prabowo Subianto jengkel. Ia pun berpesan agar hakim MK bersabar menghadapi gelombang kritik dari parlemen.

Ia juga mengapresiasi karena dalam Putusan MK 135/2024, tidak ada silang pendapat. Artinya, semua hakim konstitusi kompak berpendapat yang sama alias tidak ada dissenting opinion.

"Semua partai sekarang ini bersatu marah-marah, eksekutif sama, Prabowo marah juga. Ini apa ini, sembilan orang (hakim MK) ini. Maka saya sudah bilang, putusan ini selesai yang terakhir ini, saya sudah bilang itu ke sembilan hakim, 'eh kalian ini sabar sabar ya, banyak-banyak berdoa ini, ini pasti habis ini partai bersatu ini'. Kebetulan MK-nya juga alhamdulillah bersatu, sembilan orang. Ini kan tiga partai itu. Sembilan orang ini diputusan terakhir bersatu, termasuk Anwar Usman, jadi mereka tidak ada dissenting opinion," ucap Jimly.

3. Revisi UU Pemilu sebuah keniscayaan

Ilustrasi Pilkada 2024. (Dok. IDN Times)
Ilustrasi Pilkada 2024. (Dok. IDN Times)

Guru Besar Universitas Nasional (Unas), Syamsudin Haris menegaskan, DPR dan pemerintah harus menerima putusan MK Nomor 135/2024 bila hendak mengefektifkan sistem presidensial.

“Jika kita konsisten hendak memperkuat dan meningkatkan efektivitas sistem presidensial, maka putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 harus diterima dengan lapang dada oleh siapa pun, oleh seluruh elemen bangsa termasuk DPR, pemerintah dan partai politik,” kata Haris.

Biaya sosial, politik dan ekonomi pemilu di republik ini sudah terlampau mahal jika pemilu hanya bertujuan menkonversi suara menjadi kursi di parlemen dan/atau mendukung kandidat calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) atau kepala daerah.

Sejak awal, mestinya pemilu harus didesain untuk kebutuhan memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensial. Ia menilai, pemisahan pemilu nasional dan lokal itu merupakan keniscayaan politik, yang mesti dijalankan oleh pemerintah dan DPR RI.

Sebab kalau tidak, sistem pemilu selamanya akan menjadi sesuatu yang terpisah. Sedangkan, pemerintah terus berupaya menggunakan sistem presidensial dan mengefektifkan sistem tersebut.

“Pemilu bukan hanya mengubah instrumen untuk mengubah suara menjadi kursi atau mengubah suara rakyat menjadi dukungan terhadap Paslon tertentu tapi juga instrumen untuk mengefektifkan sistem politik,” kata dia.

4. Pembahasan pemilu di parlemen masih mandek

Rapat Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Rapat Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pembahasan RUU Pemilu belum juga bergulir di parlemen. Padahal, judicial orders bagi pembentuk UU sudah menumpuk. MK setidaknya telah memberikan judicial orders pada sengketa hasil pilpres, tapi tidak ditaati untuk pengaturan Pilkada 2024. Konsekuensinya, MK lebih garang menindak pelanggaran pembagian bansos atau netralitas penyelenggara pemilu pada Pilkada 2024.

Selain itu, pengaturan keserentakan akhir masa jabatan seleksi penyelenggara pemilu dalam putusan 120/2022. Judicial orders lain terkait rekonstruksi ambang batas parlemen imbas putusan MK 116/2023.

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 membawa konsekuensi besar terhadap arah regulasi pemilu di Indonesia. Namun, paska-putusan itu dibacakan, sejumlah tantangan krusial muncul.

Pertama, terjadinya kekosongan hukum. Putusan MK tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang untuk memastikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Sayangnya, respons politik di parlemen masih buntu.

Alih-alih bergerak cepat, dinamika politik di Senayan lebih banyak diwarnai tarik-menarik kepentingan politik yang memunculkan dilema baru. Ide kepala daerah dipilih DPRD dan/atau ditunjuk pusat mulai digulirkan ke publik. Ide ini muncul karena sistem pilkada menghambat konsolidasi pembangunan di daerah.

Kedua, potensi rendahnya legitimasi terhadap pembahasan perubahan UU Pemilu. Proses pembahasan yang molor, tertutup, tergesa-gesa, dan minim partisipasi publik bisa menimbulkan masalah kepercayaan terhadap hasilnya.

"Jadi yang dibutuhkan sebenarnya kepatuhan kita semua, konsistensi kita semua di dalam berkonstitusi dan membiasakan budaya konstitusi. Kalau publik diminta patuh pada tadi, Putusan 55/2020, Putusan Nomor 90/2023, soal syarat usia, maka hal yang sama juga dibutuhkan dari institusi dan kelembagaan penyelenggaraan negara kita, termasuk para politisi kita," kata Titi Anggraini.

5. Parpol simulasikan putusan MK soal pemisahan pemilu

Bersama pimpinan DPR RI Adies Kadir, Saan Mustopa dan Cucun Ahmad Syamsurijal serta Pimpinan Baleg, Pimpin... Hukum, dan Lembaga juga Badan Negara terkait lainnya di ruang rapat Pimpinan Gedung Nusantara II DPR RI Senayan, Jakarta..jpg
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad pimpinan rapat konsultasi bersama pemerintah sikapi putusan MK terkait pemisahan pemilu. (Instagram Pribadi Sufmi Dasco)

Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (8/7/2025) telah menyepakati adanya kodifikasi dalam paket Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik, menjadi bagian dari Peraturan DPR RI tentang Rencana Strategis (Renstra) DPR RI 2025-2029.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, masing-masing partai politik sedang melakukan simulasi menyikapi putusan MK yang memerintahkan pemilu tidak dilakukan serentak lagi.

"Pembahasan-pembahasan mengenai Undang-Undang Pemilu, masing-masing partai sedang melakukan simulasi. Nah, nanti setelah reses masuk kita akan mensinergikan di Komisi II," kata Ketua Harian Partai Gerindra itu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us