H.R Dharsono bersama Soeharto (dok keluarga, buku Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono)
H.R. Dharsono merupakan seorang pejuang dalam perang kemerdekaan dan menjadi panglima divisi fenomenal Siliwangi 1966 sampai 1969.
Sosoknya dikenal karena pemikirannya yang kaya gagasan tentang masa depan politik nasional, yang merupakan salah satu pondasi kehidupan bernegara. Namun sayang, gagasannya tentang pembaruan politik Indonesia justru kandas di kaki sebagian rekan-rekan militernya yang telah menjelma sebagai penguasa pragmatis, bersama kalangan penguasa politik kepartaian.
Tak lain karena mereka semua sama-sama ingin mempertahankan status quo, demi kepentingan kekuasaan mereka masing-masing pasca-tumbangnya Sukarno.
Dalam buku tersebut, selain menuturkan sejumlah titik krusial dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945 sampai 1950, juga dijelaskan momen penting dalam sejarah kekuasaan di masa Indonesia merdeka. Salah satunya adalah proses pengakhiran kekuasaan Sukarno setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI.
Adapun separuh lebih dari topangan kekuatan Jenderal Soeharto dalam menghadapi Sukarno ada pada Jenderal H.R. Dharsono, yang kala itu menjadi Panglima Siliwangi. Posisi Divisi Siliwangi waktu itu amat strategis dan menentukan, karena Ibu Kota Jakarta praktis dikelilingi busar wilayah divisi tersebut.
Proses perubahan kekuasaan kala itu itu tergambarkan berisi lakon politik yang di sana-sini beraroma pewayangan. Namun berbeda dengan Soeharto yang sangat khas Jawa, Jenderal H.R. Dharsono bersikap lebih tegas di garis depan proses menurunkan Sukarno.
Paling menarik perhatian dan menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia dan keberadaan Dharsono, ialah gagasan pembaruan politik pada tahun 1968 sampai 1969 bersama kelompok aktivis pergerakan 1966 dan Bandung.
Dalam konteks pembaruan politik pasca-era Nasakom, Dharsono dan aktivis lainnya menggagas perombakan struktur politik dan kepartaian melalui konsep dwi grup, yang mengerucut sebagai dwi partai. Gagasan itu kemudian membuat Soeharto dan sejumlah jenderal di lingkarannya menolak dan bergerak mengandaskan gerakan tersebut.