Ilustrasi polarisasi di media sosial. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Terkait hal tersebut, Akademisi dan Pengamat Komunikasi, Geofakta Razali menyoroti adanya potensi kampanye yang justru mengganggu pengguna jejaring media sosial atau dalam bahasa milenial disebut spamming.
Adapun, spam diartikan sebagai penyalahgunaan sistem pesan elektronik untuk mengirim berita iklan dan keperluan lainnya secara massal. Umumnya, spam menampilkan berita secara bertubi-tubi tanpa diminta dan sering kali tidak dikehendaki oleh penerimanya.
Geofakta menjelaskan, jejaring media sosial harus dipakai untuk meningkatkan literasi kepemiluan, bukan hanya terkait arah politik belaka.
"Apabila untuk branding dan campaign sah-sah saja. Tapi masalah yang urgent di Indonesia bukan soal branding politic. Tapi adalah literasi dan pemahaman berdemokrasi. Apabila campaign dilakukan selaras dengan memperhatikan edukasi, maka itu akan menjadi persoalan yang baik," kata dia saat dihubungi IDN Times.
"Apabila hanya kebutuhan campaign tanpa substansi peningkatan literasi kepemiluan, pesan moral, hanya akan berpengaruh menambah spamming," sambung dia.