Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto, mengatakan pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI), tidak akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru.

Pada masa lalu, kata Hadi, TNI selain berfungsi sebagai kekuatan keamanan, juga bergerak di bidang sosial politik. Dulu dikenal fraksi ABRI yang anggotanya ditunjuk langsung dari kesatuan militer. Pada 1992 hingga 1997, ada 100 anggota militer yang tergabung dalam fraksi ABRI di DPR. 

"Jadi berbeda dwifungsi ABRI pada waktu itu (era Orde Baru). Pada waktu itu, dwifungsi ABRI atau TNI memiliki fungsi dua, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik. Dulu, ABRI memiliki wakil di DPR," ujar Hadi di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024). 

Saat ini, kata Hadi, TNI tidak memiliki wakil di parlemen dan menegaskan sudah tidak ada lagi dwifungsi ABRI. 

"Itu adalah masa lalu, bagian dari perjalanan sejarah. Jadi dalam pembahasan (DIM RUU TNI) tidak akan masuk kepada norma-norma itu tadi. Isinya juga tidak akan seperti itu," imbuhnya. 

1. RUU TNI membolehkan prajurit TNI aktif mengisi posisi di kementerian

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Hadi tak menampik dalam draf RUU TNI yang akan dibahas, terdapat poin yang membolehkan prajurit TNI aktif menempati jabatan sipil di kementerian. Namun, ia menggarisbawahi, posisi yang diisi sesuai dengan kebutuhan kementerian atau lembaga. 

"TNI-Polri aktif bisa menjabat jabatan sipil di kementerian dan nanti diperluas (bidang dan kementeriannya). Namun, sesuai dengan kebutuhan kementerian dan lembaga, serta kebijakan presiden," kata mantan Panglima TNI itu. 

Sementara, saat ini anggota TNI dan Polri yang masih aktif bertugas hanya bisa menempati jabatan sipil di kementerian yang berada di bawah naungan Kemenko Polhukam.

"Nantinya, memang akan diperluas. Namun, sesuai dengan aturan kementerian dan lembaga (di luar Kemenko Polhukam). Bidang apa saja yang bisa diduduki di kementerian atau lembaga tersebut (oleh anggota TNI/Polri aktif)," imbuh Hadi. 

2. Menko Hadi beri contoh anggota TNI-Polri aktif bisa pegang jabatan di KKP

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ketika menerima laporan korps kenaikan pangkat di Mabes TNI. (Dokumentasi Puspen TNI)

Hadi kemudian memberikan contoh kementerian atau lembaga yang tidak berada di bawah naungan Kemenko Polhukam, dan diplot bisa menerima anggota TNI/Polri aktif. Salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

"Di situ dibutuhkan keahlian dalam bidang kelautan. Maka, diperlukanlah ahli-ahli dari TNI Angkatan Laut yang bisa menduduki jabatan setingkat dirjen. Ini baru salah satu contoh. Namun belum masuk pembahasan," kata Hadi. 

Tetapi, ia tak menampik arah pembahasan akan ke sana. 

3. RUU TNI dikritik karena dapat membuka ruang anggota TNI berpolitik

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani. (Tangkapan layar YouTube KontraS)

RUU TNI juga menuai kritikan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka tetap kukuh menilai RUU TNI akan membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang pernah terjadi pada Orde Baru yang otoritarian. Dalam draf RUU TNI Pasal 47 poin 2 tertulis perwira aktif TNI bisa lebih banyak menduduki jabatan di instansi sipil. 

"Upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki perwira TNI aktif dalam draf RUU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal itu menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, seperti dikutip dari keterangan tertulis pada 28 Mei 2024.

Dalam agenda reformasi, militer ditempatkan sebagai alat pertahanan negara. Menurutnya, mereka dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk berperang.

"Militer tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara tidak hanya keliru, melainkan itu juga akan memperlemah profesionalitas militer itu sendiri," tutur Julius. 

Bila RUU TNI tetap disahkan, maka kebijakan yang selama ini keliru dengan menempatkan anggota TNI aktif di lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), dipandang legal. Belakangan, bahkan ada perwira aktif TNI yang menduduki jabatan sebagai kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh. 

Di sisi lain, Hadi menepis anggapan bahwa tujuan RUU TNI karena ingin membuka ruang bagi militer berpolitik. "Tujuannya karena ingin mengakomodir kebutuhan masyarakat terkait tugas dan fungsi TNI," imbuhnya. 

Editorial Team