Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

Intinya sih...

  • Banjir bandang di Sumatra Utara merenggut 631 jiwa dan 472 orang hilang

  • Hujan tanpa henti menjadi pemicu banjir, disertai eksploitasi hutan yang serampangan

  • Eksploitasi hutan untuk perkebunan sawit dan tambang menyebabkan bencana banjir bandang sebagai human made disaster

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Banjir bandang yang melanda kawasan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, menjadi tragedi besar di akhir November 2025. Bagaimana tidak, bencana yang disertai longsor ini telah merenggut 631 jiwa orang meninggal dan 472 lainnya hilang.

Wilayah Sumatra Utara menjadi yang paling parah terdampaknya. Sebanyak 293 jiwa melayang dengan 154 orang hilang. Ini data yang dikumpulkan per Selasa (2/12/2025), dan akan terus diperbarui setiap harinya.

Banjir yang melanda Sumatra Utara terjadi dalam waktu yang cepat. Kesaksian dari sejumlah korban, air naik dalam waktu singkat. Vikri Basri Tambunan, pria perantau asal Tapanuli Tengah, mendapat kabar dari ibunya kalau banjir datang mendadak.

Keluarganya, menurut Vikri, mengira banjir terjadi dalam kadar yang wajar. Tapi, tiba-tiba air langsung meluap dan membuat situasi menjadi tak kondusif. Bahkan, Vikri sempat kesulitan menghubungi ibu dan anggota keluarganya yang lain saat banjir terjadi.

1. Berawal dari hujan tanpa henti, hingga air meluap cepat

Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

Sejumlah pihak, termasuk elemen pemerintah, menyatakan banjir disebabkan adanya hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi yang mengguyur wilayah sekitar Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. IDN Times mengonfirmasi klaim ini lewat teknik Open Source Intelligence (OSINT).

Langkah pertama, konfirmasi dilakukan dengan memeriksa kondisi cuaca di sekitar Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Sebagai sampel, IDN Times mengambil wilayah Sumatra Utara sebagai lokasi yang paling terdampak bencana ini.

Sejak 23 November 2025, sudah ada hujan yang tercipta di sekitar wilayah terdampak banjir. Kemudian, pada 24 November 2025, pukul 00.00 WIB, hujan mulai mengguyur sebagian besar kawasan Sumatra Utara secara merata dan terus berlanjut hingga keesokan harinya.

Pada 26 November 2025, hujan sempat reda di rentang waktu pukul 00.00 hingga 06.00 WIB. Namun, hujan akhirnya kembali mengguyur kawasan terdampak sejak pukul 12.00 hingga seterusnya.

Kejadian ini juga terkonfirmasi lewat cuitan pengguna Twitter, @Vincent_Irving. Dalam unggahannya pada 27 November 2025, akun tersebut menyatakan hujan yang mengguyur wilayah Sumatra Utara tidak berhenti sejak 26 November 2025.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat memberikan peringatan bahwa wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Riau, menjadi daerah-daerah terdampak Siklon Tropis Senyar. Itu sudah terbukti dengan pola cuaca yang menyelimuti kawasan-kawasan tersebut sejak 23 November 2025, karena angin kencang disertai hujan sedang dan lebat mengguyur.

2. Mulai banyak hutan yang botak di sekitar Sumatra

TNI Angkatan Darat (AD) bantu penanganan banjir, tanah longsor, dan putusnya jembatan yang melanda wilayah Tapanuli Tengah, Sibolga, hingga Mandailing Natal, Sumatera Utara (dok. Dinas Penerangan TNI AD)

Bencana banjir bandang yang terjadi di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, disebutkan sejumlah pihak sebagai efek dari eksploitasi hutan yang serampangan. Sejumlah unsur seperti WALHI, Greenpeace, hingga warganet, kencang menyerukan tanah Sumatra sudah rusak dan banyak hutan yang botak.

Ditelusuri IDN Times melalui teknik OSINT, menggunakan pantauan Google Earth dan rekam jejak hingga 15 tahun terakhir, memang ada perbedaan yang begitu besar di sejumlah kawasan. Di sekitar Muara Sibuntuon, Sibabangun, Tapanuli Tengah, terlihat perbedaan luasan wilayah vegetasi.

Pada 30 Desember 2020, belum terlihat adanya kebotakan di wilayah seluas 156.549 meter persegi yang muncul dalam gambar-gambar di bawah. Tapi, per 1 Desember 2025, luasan tersebut sudah terlihat gundul dari citra satelit.

Kemudian, di wilayah Batang Toru, dekat kawasan hutan lindung, ada perbedaan besar yang tercipta selama 15 tahun. Sebuah wilayah seluas 1.168,31 hektare, pada 12 Desember 2010 masih didominasi area vegetasi. Namun, per 1 Desember 2025, wilayah tersebut sudah botak dan dieksploitasi sebuah perusahaan.

Bergeser ke wilayah Tapanuli Selatan, di dekat air terjun Lubuk Harapan, ada wilayah vegetasi yang kehilangan 47,62 hektare area hijaunya, ditinjau dari citra satelit per 1 Desember 2025. Padahal, pada 25 Juni 2020, area tersebut terlihat masih dipenuhi pepohonan. Area hijau yang hilang ini setara nyaris lima kali luas Stadion Utama Gelora Bung Karno.

"Pastinya, kalau di Indonesia, terutama di Pulau Sumatra, sejak 1990 sampai dengan tahun ini, tutupan hutan alaminya semakin tergerus gitu ya, semakin hilang. Bahkan sampai saat ini berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, luas hutan di Pulau Sumatra itu secara keseluruhan hanya tinggal 11,6 juta hektare," kata Kepala Kampanye Kehutanan Greenpeace, Kiki Taufik, dalam Ngobrol Seru by IDN Times.

"Jadi, luas tutupan hutan alami yang ada di Indonesia secara keseluruhan itu sekitar 89,5 juta hektare. Jadi artinya dengan sisa 11,6 juta artinya hanya sekitar 12 sampai 13 persen. Tutupan hutan yang ada di Pulau Sumatra," dia menambahkan.

3. Perluasan lahan sawit dan tambang paling agresif

Ditinjau dari MapBiomas berdasarkan data pada 2024, area hijau di Sumatra Utara memiliki luas hingga 2.527.275 hektare, dengan 97,5 persen di antaranya merupakan hutan. Selain itu, ada juga area vegetasi lain seluas 544.963 hektare dan mangrove 55.094 hektare. Sementara, luas sungai, danau, hingga laut mencapai 148.433 hektare.

Kemudian, wilayah non-vegetasi yang didiami penduduk sebesar 197.639 hektare dari 208.648 hektare. Dari data yang didapat, sebesar 420 hektare merupakan area pertambangan.

Luasan pertanian dan perkebunan di Sumatra Utara saat ini tercatat 3.807.756 hektare. Komposisinya, 2.115.976 hektare area kebun sawit, lalu 1.213.595 hektare pertanian lain, 395.543 hektare lahan sawah padi, dan 82.641 merupakan pertanian kayu kertas.

Dibandingkan dengan 10 tahun lalu, perkembangan luasan lahan tambang dan kelapa sawit menjadi yang paling besar pertumbuhannya. Di 2014, luasan tambang di Sumatra Utara mencapai 156 hektare. Sementara, pada 2024 menyentuh 420 hektare, dan itu mencapai nyaris tiga kali lipat perkembangannya.

Secara spesifik melihat formasi lahan di Tapanuli Tengah, perluasan paling signifikan terjadi pada area perkebunan kelapa sawit. Pada 2014, luasan kelapa sawit di Tapanuli Tengah baru 35.089 hektare. Tapi, 10 tahun kemudian sudah mencapai 45.390 hektare. Perluasan wilayah kelapa sawit sudah terlihat sejak 1995. Areanya terus meningkat setiap tahunnya, hingga 2024 lalu.

Hal serupa juga terjadi di Tapanuli Selatan. Wilayah perkebunan sawit meluas dalam kurun waktu 10 tahun, sejak 2014 hingga 2024. Perluasan kelapa sawit di 2014 baru mencapai 35.687 hektare dan 10 tahun kemudian meningkat menjadi 44.761 hektare. Area pertambangan di Tapanuli Selatan juga meluas, dari 131 hektare pada 2014 meluas hingga 323 hektare 10 tahun kemudian atau 2,5 kali lipatnya.

3. Termasuk human made disaster

Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

Ahli Pengelolaan Bencana dan Pembangunan Wilayah Perkotaan sekaligus Dosen Graduate School of Sustainability Development, Irene Sondang Fitrinitia, mengategorikan banjir bandang Sumatra Utara masuk ke dalam human made disaster. Pandangan ini dikeluarkan karena adanya fakta eksploitasi hutan lindung di wilayah Sumatra Utara yang meluas secara konsisten. Hilangnya tanaman asli dan digantikan pohon sawit, dijelaskan Irene, bisa mengubah fungsi dari hutan tersebut.

Sebab, karakteristik pohon sawit berbeda jauh dengan tanaman-tanaman berakar dalam yang ada di hutan. Alhasil, proses penyerapan airnya menjadi tidak maksimal dan keseimbangan ekosistemnya terganggu.

"Sebenarnya tanaman punya karakteristik berbeda. Di kota ada perdu bisa menyerap polutan. Setiap jenis tanaman punya karakter masing-masing, secara input maupun output. Pohon sawit akarnya berbeda dengan yang rimbun," ujar Irene kepada IDN Times.

"Ini berkaitan dengan fungsinya, ketika pohon sawit berbeda dengan yang rimbun. Pohon yang rimbun mengikat tanah dengan maksimal, tidak dengan sawit. Ketika pohon sawit ditanam, maka lapisan tanah menjadi lebih gembur, dan dengan gangguan eksternal seperti hujan, maka ekosistem aslinya bisa terganggu, termasuk fungsi dalam pengikatan tanah. Jika (wilayah perkebunan sawit) terus meluas, konsekuensi logisnya ya mudah longsor di sekitarnya," lanjut Irene.

Secara fungsi, Irene menegaskan pohon sawit adalah tanaman produksi, bukan untuk kepentingan konservasi. Maka dari itu, perlu ada refleksi dan evaluasi yang dilakukan seluruh pihak dari bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Sebab, peralihan fungsi lahan dari hutan ke perkebunan sawit, ditegaskan Irene, telah menggeser keseimbangan ekosistem yang sebelumnya sudah tercipta. Selain itu, alih fungsi lahan di wilayah aliran air seperti sungai untuk pemukiman, juga bisa menjadi penyebab bencana.

"Kebutuhan sawit domestik kan sudah terpenuhi, sekarang yang dikerjakan itu buat apa? Ekspor kan. Kemudian, kita juga harus melihat urbanisasi di sekitar aliran air. Jadi, bencana ini jangan salahkan alam, perubahan iklim, siklon, tapi justru manusia. Karena kan berawal dari perbuatan manusia. Sebagai negara tropis, harusnya juga kita sadar dan siap tanggap dalam penanganan bencana," kata Irene.

4. Area vegetasi dan DAS makin terdesak

Seorang warga melintasi endapan lumpur usai banjir bandang untuk membantu proses evakuasi di Palembang, Kabupaten Agam. (IDN Times/Halbert Caniago)

Pernyataan Irene diamini Kiki. Di kawasan Batang Toru, Kiki melihat ada penyempitan dalam area vegetasinya. Daerah Aliran Sungai (DAS) di sana menyempit karena bagian hulunya mulai botak akibat aktivitas pertambangan ilegal serta perkebunan sawit.

"Nah itu yang terjadi di Sumatra, terutama misalnya sebagai contoh di Batang Toru. Jadi, di Batang Toru kita lihat di bagian atasnya itu sudah terbuka. Teman-teman bisa lihat diidentifikasikan ada pertambangan ilegal di atas. Kemudian, di sekitarnya juga ada kebun-kebun sawit yang sudah tertanam memang. Tapi, juga ada satu proyek nasional yaitu pembangunan PLTA Batang Toru. Nah itu juga berkontribusi itu membuat terjadinya banjir yang begitu besar," kata Kiki.

Pembangunan besar tanpa melihat daya dukung lingkungan, dijelaskan Kiki, telah mengubah ekosistem di Batang Toru. Dari situ juga, dampak bencana banjir bandang dan longsor begitu masif.

"Sementara kalau saya lihat di media sosial, banyak sekali yang mencoba untuk menyampaikan permintaan tolong, bahkan ada jurnalis di Aceh sampai sekarang itu belum tersambung aliran listriknya sejak dilanda banjir. Jadi, dia rekam video dan meminta agar diedarkan dari satu aplikasi pesan pendek ke lainnya supaya segera ada pertolongan karena masih terisolir," ujar Kiki.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan berdasarkan data yang diolah dari Kementerian ESDM, terlihat Sumatra telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba.

"Ada sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469 hektare," kata Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar.

Kepadatan izin ini, kata Melky, terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatra Selatan (217), Sumatra Barat (200), Jambi (195), dan Sumatra Utara (170).

"Sementara, provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut," ujarnya.

Atas hal ini, Melky menegaskan dan sepakat jika bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra tergolong sebagai human made disaster. Adanya siklon senyar sebagai bentuk efek cuaca ekstrem, menurut Melky, tak bisa menjadi narasi tunggal dalam bencana ini.

"Tetapi, harus dibaca sebagai akibat langsung dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS) oleh industri ekstraktif," ujar Melky.

5. Menanti tindakan pemerintah

PTAR dukung tanggap bencana penanganan banjir dan longsor di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah (dok.AGINCOURT RESOURCES)

Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan pihaknya tengah mengusut pengaruh kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Mikrohidro (PLTMH) terhadap banjir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.

Hanif menjelaskan, langkah itu dilakukan lantaran aktivitas koorporasi PLTA dan PLTMH itu diduga turut mengubah bentang alam di Batang Toru.

"Ada beberapa PLTA, Mikrohidro juga yang kemudian sedang kita jalani kontribusinya seberapa besar. Karena memang ada kegiatan yang kemudian melakukan perubahan bentang alamnya," kata Hanif di Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).

Selain itu, Hanif menjelaskan ada delapan perusahaan yang diduga berkontribusi memperparah banjir di Sumatra Utara. Sebanyak, delapan perusahaan itu terdiri dari perusahaan tanaman industri, tambang emas hingga perusahaan sawit. Mereka beraktivitas di sekitar daerah aliran sungan (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan.

"Batang Toru ini memang DAS-nya, jadi kotanya Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, ada di sisi lembahnya. Kemudian, dia curam. Sementara, di kecuramannya itu ada aktivitas. Saya mencatat ada delapan entitas di sana mulai dari perusahaan tanaman industri, tambang emas, kemudian perusahaan sawit. Ada delapan yang berdasarkan analisa citra satelit kami berkonstibusi memperparah hujan ini," kata Hanif.

Pengelola tambang Emas Martabe, PT Agincourt Resources (PTAR), yang disangkutkan dengan banjir bandang Sumatra Utara, akhirnya buka suara. PTAR menyatakan lokasi banjir di Desa Garoga tak terhubung dengan tempatnya beroperasi. Mereka menyatakan tak menemukan material kayu di DAS Aek Pahu, yang masuk sebagai wilayah terdampak banjir.

"Kami mendukung penuh kajian komprehensif yang dilakukan pemerintah atas seluruh faktor penyebab bencana ini dan siap bekerja sama secara transparan," tulis PTAR dalam keterangan tertulisnya.

Sementara, PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) juga merespons tudingan publik terkait pengaruh aktivitasnya dalam banjir bandang di Sumatra Utara. INRU membantah tudingan tersebut dan menegaskan seluruh kegiatan operasionalnya telah sesuai dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari.

"Mengenai tuduhan deforestasi, kami tegaskan, Perseroan melakukan operasional pemanenan dan penanaman kembali di dalam konsesi berdasarkan tata ruang, Rencana Kerja Umum (RKU), dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan pemerintah, dengan sistem tanam panen berkelanjutan. Perseroan menjaga kesinambungan hutan tanaman sebagai bahan baku industri pulp, sehingga jarak waktu antara pemanenan dan penanaman hanya berselang paling lama 1 bulan, sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam dokumen Amdal," begitu pernyataan INRU dalam keterbukaan informasi di BEI, Selasa (2/12/2025).

Editorial Team