Mimpi Prabowo Modernisasi Alutsista Indonesia yang Usang

Jakarta, IDN Times - 11 Februari 2022 sorotan publik dunia mengarah kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pada hari itu, ia menerima koleganya Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Parly, di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat. Prabowo dan Parly meneken kerja sama pembelian jet tempur generasi 4,5 Rafale.
Di dalam nota kesepahaman (MoU) itu, Indonesia akan membeli enam unit jet tempur Rafale. Namun, ke depan, Indonesia bakal memborong 36 unit Rafale lainnya.
Publik pun terkejut ketika Prabowo resmi mengaktifkan kontrak kerja sama untuk memesan enam unit jet tempur Rafale. Sebab, tidak hanya harga satu unit jet tempur Rafale sangat mahal, pembelian itu dilakukan di tengah Indonesia yang masih dikepung pandemik COVID-19.
Sejumlah analis mempertanyakan apakah keuangan Indonesia sanggup untuk membayar pemesanan enam unit jet tempur Rafale.
"Kita mulai hari ini dengan menandatangani kontrak pertama untuk enam pesawat," ujar Prabowo pada 11 Februari 2022 ketika memberikan keterangan pers di kantornya bersama Parly.
Tidak hanya bakal memboyong jet tempur, Indonesia juga akan memiliki dua kapal selam sekelas Scorpene. Hal itu lantaran turut ditandatangani nota kesepahaman kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan kapal selam antara PT PAL dengan Naval Group. Mantan Danjen Kopassus itu tak menampik, kerja sama ini nantinya mengarah ke pembelian kapal selam buatan Prancis, Scorpene.
"Tentunya, akan mengarah pada pembelian dua kapal selam kelas Scorpene dengan AIP beserta persenjataan dan suku cadang yang dibutuhkan termasuk latihan," ungkap Menteri yang juga menjadi Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Kegembiraan tidak hanya ditunjukkan Prabowo, sebab Menteri Parly pun merasa lega akhirnya ada pemesanan alutsista dari Indonesia. Pemesanan ini seolah menjadi obat kekecewaan setelah Australia pada September 2021 membatalkan secara sepihak kontrak pemesanan 90 kapal selam tenaga diesel.
"Resmi: Indonesia memesan 42 Rafale," demikian cuit Parly di akun Twitternya pada 10 Februari 2022.
"Prancis bangga dapat berkontribusi terhadap modernisasi angkatan bersenjata negara mitra kami yang memainkan peranan kunci di ASEAN dan Indo Pasifik," kata dia lagi.
Lalu, berapa harga kontrak enam unit jet tempur Rafale yang dipesan oleh Prabowo? Mengapa pemesanan itu harus dilakukan saat ini? Bagaimana pula kelanjutan nasib pemesanan jet tempur Sukhoi Su-35 yang sempat disepakati pada 2018?
1. Nilai kontrak enam unit Rafale mencapai Rp15,7 triliun
Juru bicara Menhan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Prabowo tidak langsung begitu saja menjatuhkan pilihan kepada perusahaan pertahanan Dassault Aviation yang memproduksi Rafale. Dahnil mengatakan, untuk bisa memenuhi kebutuhan modernisasi yang sesuai, Prabowo kerap melakukan lawatan ke beberapa negara, mulai dari Turki, Korea Selatan hingga Prancis. Prancis setidaknya sudah disambangi sebanyak tiga kali oleh Prabowo.
Dahnil mengungkapkan ada empat alasan Prabowo akhirnya menjatuhkan pilihannya untuk membeli jet tempur Rafale.
Pertama, efektivitas atau tepat guna. Menurut Dahnil, Prabowo selalu mengingat pesan Presiden Joko "Jokowi" Widodo bahwa belanja alutsista harus didasari kebutuhan, bukan keinginan.
"Sementara, kita butuh alutsista terbaik untuk menjaga 81 ribu kilometer garis pantai Indonesia dan lebih dari 7,7 juta kilometer persegi luas wilayah Indonesia. Pemerintah harus pastikan jet tempur atau alutsista yang dipilih tepat guna dan bisa digunakan untuk menjaga kepentingan NKRI," ujar Dahnil ketika berbicara kepada media pada 12 Februari 2022.
Alasan kedua, menyangkut geopolitik dan geostrategis. Dahnil menjelaskan setiap kali dilakukan belanja alutsista, maka hal tersebut berkaitan erat dengan dimensi diplomasi pertahanan.
Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), ada 67 negara di dunia yang menjadi produsen alutsista. Namun, hanya lima negara yang jadi produsen terbesar yakni Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Jerman, dan China.
"Maka, setiap Menhan mengambil keputusan harus dipastikan bersamaan dengan kepentingan Indonesia melakukan diplomasi pertahanan," kata dia.
Dahnil seolah merujuk bahwa jangan sampai pembelian alutsista dari negara tertentu kemudian memicu embargo suku cadang dari negara lain.
Alasan ketiga, yakni efisiensi. Ia mengatakan keinginan Kemhan untuk membeli alutsista harus disesuaikan dengan ruang dan kapasitas fiskal.
"Jadi, harus dipastikan apakah APBN memiliki kemampuan untuk membeli alutsista," tutur dia.
Alasan keempat, harus ada alih teknologi dan konten lokal. Hal tersebut berangkat dari visi Jokowi yang ingin ke depan harus ada kemandirian industri pertahanan.
"Oleh sebab itu, ketika belanja alutsista, kita harus mendorong adanya alih teknologi sehingga industri pertahanan domestik bisa berkembang secara maksimal," ungkapnya.
Maka tak mengherankan, kata Dahnil, saat dilakukan penandatanganan kontrak untuk pembelian Rafale, ada deretan MoU lainnya yang diteken. Kesepakatan itu merupakan bagian dari perjanjian untuk mendukung perkembangan industri pertahanan di dalam negeri.
"Dari empat kriteria itu, yang menurut kami paling memenuhi secara maksimal adalah Prancis. Sehingga, kami menjatuhkan pilihan ke Dassault Rafale," tutur dia.
Dahnil pun membocorkan nominal kontrak pembelian enam unit jet tempur Rafale. Angkanya mencapai 1,1 miliar dolar AS atau setara Rp15,7 triliun. Ia menjelaskan tahapan selanjutnya tinggal menunggu Kementerian Keuangan membayarkan uang mukanya kepada Prancis.