Massa serikat buruh di Bekasi yang dihadang polisi, Senin (5/9/2020) (Dok. KSPI)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ada 10 isu yang diusung buruh dalam menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan ini.
Kesepuluh isu tersebut berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), sanksi pidana bagi pengusaha, tenaga kerja asing (TKA), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah atas cuti, serta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.
“Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya tiga isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA, dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Senin, 5 Oktober 2020.
Serikat buruh kembali merevisi poin penolakan menjadi tujuh hal dalam RUU Ciptaker. Pertama, terkait penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Sektoral (UMSK). Buruh menolak keras kesepakatan ini.
Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata, nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” kata dia.
Karena itu, UMSK menurut Iqbal harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional, untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi, UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairness.
Sedangkan, perundingan nilai UMSK dilakukan asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja, sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Iqbal.
Poin kedua yang ditolak buruh yakni pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
“Dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan, tidak masuk akal. Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan,” kata dia.
Kesepakatan ini, menurut dia, akan berakibat BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut.
Ketiga, buruh menolak soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup, tidak ada batas waktu kontrak.
Keempat, buruh juga menolak outsorching pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan.
Menurut Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh.
“Siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP,” ujarnya.
“Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapatkan kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi,” sambung Iqbal.
Menurut Iqbal, dengan DPR setuju karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup berarti ‘no job security’ atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Lalu, ia mempertanyakan di mana kehadiran negara dalam melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5 persen hingga 15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” kata dia.
Kelima, Iqbal juga menyatakan menolak jam kerja yang eksploitatif.
Keenam, buruh menolak hak cuti dan hak upah atas cuti yang dihapus. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.
Ketujuh. Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.
“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Iqbal.