Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Hermawanto yang berprofesi sebagai advokat menyampaikan perbaikan permohonan pengujian Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001. Hermawanto mengatakan, pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
“Melanggar hak atas kepastian hukum dan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1),” ujar Hermawanto dalam Sidang Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (2/6/2025).
Pasal 21 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus limpa puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” dan Penjelasannya: Pasal 21 Cukup jelas.
Pemohon menilai frasa “atau tidak langsung” pada rumusan norma pasal beserta penjelasannya yang diuji tersebut berpotensi menjerat setiap warga negara yang menyuarakan opini publik atau melakukan kontrol sosial melalui media massa, seminas, diskusi kampus, demonstrasi, konferensi pers, dan lain-lain. Jika suara publik dianggap oleh penyidik dengan berdasarkan penilaian subjektif penyidik ‘menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan’ karena secara tidak langsung mempengaruhi proses hukum pada aparat penegak hukum, maka akan ada ancaman terhadap kebebasan dan rasa aman dalam berekspresi. Padahal konstitusi menegaskan kebebasan menyampaikan pendapat dan rasa aman dalam berekspresi merupakan elemen penting dalam negara demokrasi.
Namun, menurut Pemohon, bentuk perbuatan dan tingkat mempengaruhinya sangat subjektif dari aparat penegak hukum karena dilakukan secara ‘tidak langsung’ sebagaimana bunyi dalam Pasal 21 UU Tipikor tidak pasti batasannya. Hal tersebut dinilai sangat bergantung pada penilaian parat penegak hukum yang tentu sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan bisa menghambat partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum di dalam kehidupan berdemokrasi.
Terbuka peluang penafsiran yang meluas pada Pasal 21 UU Tipikor yang bisa bersifat subjektif dan represif oleh aparat penegak hukum terhadap tindakan yang dianggap menghalangi proses hukum berpotensi disalahgunakan untuk menekan atau mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu tanpa dasar hukum yang jelas. Karena itu, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “atau tidak langsung” Pasal 21 dan Penjelasannya UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.