Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie dalam kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional Refleksi Implementasi Fungsi Mediasi di Indonesia di The Sultan Hotel Jakarta Kamis (12/12/2019) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Jakarta, IDN Times -- Pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqie, menilai usulan Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) oleh DPR karena kemarahan lembaga legislatif itu pasca MK menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 2021. 

Jimly mengatakan, ada kekecewaan para politikus saat itu dengan kinerja MK karena tak menyetujui UU Cipta Kerja. Selain mengusulkan RUU MK, buntut dari kemarahan itu adalah pemecatan Hakim MK Aswanto yang memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

1. Kemarahan politikus tercermin dalam pemecatan hakim MK Aswanto

Sidang putusan gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Menurut Jimly, pemecatan Aswanto adalah cerminan dari kemarahan politikus terhadap putusannya tentang UU Cipta Kerja. Dia menilai kemarahan itu tak hanya ada pada lembaga legislatif, tapi juga sampai tingkat eksektutif. 

"Yang kemarin marah itu legislatif-eksekutif, itu kemarin yang menjadikan pemecatan hakim Aswanto dan tercermin juga kemarahan itu di RUU MK ini," kata Jimly di DPR, Kamis (30/3/2023). 

Dia juga menyorot setiap politisi yang kerap mencampur-aduk kemarahan pribadi dengan tugas institusional. Luapan amarah politisi itu cenderung ditumpahkan melalui media sosial atau media massa tanpa memandang jabatannya. 

"Sekarang ini kan kemarahan pribadi dan tugas institusional campur aduk, apalagi para pejabat ngetwit tiap hari. Nah ini gak jelas twit pribadi atau jabatan?" ujar Jimly.

2. Sorot bab recalling dan evaluasi hakim MK oleh DPR

Editorial Team

Tonton lebih seru di